Kajian teori mengenai
perumahan dan permukiman membahas mengenai Undang-Undang perumahan dan
permukiman, fungsi perumahan, lingkungan permukiman, perumahan pinggiran desa
dan persyaratan permukiman.
Menurut UU No. 4 Tahun
1992 tentang Perumahan dan Permukiman, rumah adalah bangunan yang berfungsi
sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana pembinaan keluarga.
Menurut John F.C Turner,
1972, dalam bukunya Freedom To Build mengatakan, “Rumah adalah
bagian yang utuh dari permukiman, dan bukan hasil fisik sekali jadi semata,
melainkan merupakan suatu proses yang terus berkembang dan terkait
dengan mobilitas sosial ekonomi penghuninya dalam suatu kurun waktu. Yang
terpenting dan rumah adalah dampak terhadap penghuni, bukan wujud atau standar
fisiknya. Selanjutnya dikatakan bahwa interaksi antara rumah dan penghuni
adalah apa yang diberikan rumah kepada penghuni serta apa yang dilakukan
penghuni terhadap rumah”.
Menurut Siswono
Yudohusodo (Rumah Untuk Seluruh Rakyat, 1991: 432), rumah adalah bangunan yang
berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana pembinaan keluarga.
Jadi, selain berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian yang digunakan untuk
berlindung dari gangguan iklim dan makhluk hidup lainnya, rumah merupakan
tempat awal pengembangan kehidupan.
Kebijakan dan strategi
nasional penyelenggaraan perumahan dan permukiman menyebutkan bahwa rumah
merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia disamping pangan, sandang,
pendidikan dan kesehatan. Selain berfungsi sebagai pelindung terhadap gangguan
alam/cuaca dan makhluk lainnya, rumah juga memiliki peran sosial budaya sebagai
pusat pendidikan keluarga, persemaian budaya dan nilai kehidupan, penyiapan
generasi muda, dan sebagai manifestasi jati diri. Dalam kerangka hubungan
ekologis antara manusia dan lingkungannya maka terlihat jelas bahwa kualitas
sumber daya manusia di masa yang akan datang sangat dipengaruhi oleh kualitas
perumahan dan permukimannya. (Sumber: Kebijakan dan Strategi Nasional
Perumahan dan Permukiman Departemen Permukiman dan Prasarana Permukiman )
Menurut UU No. 4 Tahun
1992 tentang Perumahan dan Permukiman, perumahan berada dan merupakan bagian
dari permukiman, perumahan adalah kelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan
tempat tinggal atau lingkungan hunian yang dilengkapi dengan prasarana dan
sarana lingkungan (pasal 1 ayat 2).
Pembangunan perumahan
diyakini juga mampu mendorong lebih dari seratus macam kegiatan industri yang
berkaitan dengan bidang perumahan dan permukiman (Sumber: Kebijakan dan
Strategi Nasional Perumahan dan Permukiman Departemen Permukiman dan Prasarana
Permukiman )
Menurut Undang-Undang No
4 Tahun 1992 Pasal 3, Permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup diluar
kawasan lindung, baik yang berupa kawasan perkotaan maupun pedesaan yang
berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat
kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan. Satuan lingkungan
permukiman adalah kawasan perumahan dalam berbagai bentuk dan ukuran dengan
penataan tanah dan ruang, prasarana dan sarana lingkungan yang
terstruktur (pasal 1 ayat 3).
Pasal 4 Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1992 menyebutkan bahwa penataan perumahan dan permukiman
berlandaskan asas manfaat, adil dan merata, kebersamaan dan kekeluargaan,
kepercayaan pada diri sendiri, keterjangkauan, dan kelestarian lingkungan
hidup.
Jadi, pemukiman adalah
suatu wilayah atau area yang ditempati oleh seseorang atau kelompok manusia.
Pemukiman memiliki kaitan yang cukup erat dengan kondisi alam dan sosial
kemasyarakatan sekitar.
Dalam Pasal I menyebutkan
bahwa rumah adalah bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian
dan sarana pembinaan keluarga; Perumahan adalah kelompok rumah yang berfungsi
sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian yang dilengkapi dengan
prasarana dan sarana lingkungan; sedangkan Permukiman adalah bagian
dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik yang berupa kawasan
perkotaan maupun perdesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal
atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan
penghidupan. Satuan lingkungan permukiman adalah kawasan perumahan dalam
berbagai bentuk dan ukuran dengan penataan tanah dan ruang, prasarana dan
sarana lingkungan yang terstruktur;
Asas
dari penataan perumahan dan permukiman berlandaskan pada asas manfaat, adil dan
merata, kebersamaan dan kekeluargaan, kepercayaan pada diri sendiri,
keterjangkauan, dan kelestarian lingkungan hidup (Bab II Pasal 3). Sedangkan
dalam Pasal 4 menyebutkan bahwa penataan perumahan dan permukiman bertujuan
untuk:
§ Memenuhi kebutuhan rumah sebagai salah satu kebutuhan
dasar manusia, dalam rangka peningkatan dan pemerataan kesejahteraan rakyat;
§ Mewujudkan perumahan dan permukiman yang layak dalam
lingkungan yang sehat, aman, serasi, dan teratur;
§ Memberi arah pada pertumbuhan wilayah dan persebaran
penduduk yang rasional;
§ Menunjang pembangunan di bidang ekonomi, sosial , budaya,
dan bidang-bidang lain.
Pemenuhan
kebutuhan permukiman diwujudkan melalui pembangunan kawasan permukiman skala
besar yang terencana secara menyeluruh dan terpadu dengan pelaksanaan yang
bertahap (Bab IV Pasal 18). Pembangunan kawasan permukiman tersebut ditujukan
untuk menciptakan kawasan permukiman yang tersusun atas satuan-satuan
lingkungan permukiman dan mengintegrasikan secara terpadu dan meningkatkan
kualitas lingkungan perumahan yang telah ada di dalam atau di sekitarnya, yang
dihubungkan oleh jaringan transportasi sesuai dengan kebutuhan dengan kawasan
lain yang memberikan berbagai pelayanan dan kesempatan kerja.
Pembangunan
perumahan dan permukiman diselenggarakan berdasarkan rencana tata ruang wilayah
perkotaan dan rencana tata ruang wilayah bukan perkotaan yang menyeluruh dan
terpadu yang ditetapkan olch pemerintah daerah dengan mepertimbangkan berbagai
aspck yang terkait serta rencana, program, dan prioritas pembangunan perumahan
dan permukiman.
Menurut Turner
(1972:164-167), terdapat tiga fungsi yang terkandung dalam rumah:
1. Rumah sebagai penunjang identitas keluarga, yang
diwujudkan dalam kualitas hunian atau perlindungan yang diberian rumah.
Kebutuhan tempat tinggal dimaksudkan agar penghuni mempunyai
tempat tinggal atau berteduh secukupnya untuk melindungi keluarga
dari iklim setempat.
2. Rumah sebagai penunjang kesempatan keluarga untuk
berkembang dalam kehidupan sosial, budaya, dan ekonomi atau fungsi pengembangan
keluarga. Fungsi ini diwudkan dalam lokasi tempat rumah itu didirikan.
Kebutuhan berupa akses ini diterjemahkan dalam pemenuhan kebutuhan sosial dan
kemudahan ke tempat kerja guna mendapatkan sumber penghasilan.
Rumah sebagai penunjang
rasa aman dalam arti terjaminnya kehidupan keluarga di masa depan setelah
mendapatkan rumah, jaminan keamanan lingkungan perumahan yang ditempati serta
jaminan keamanan berupa kepemilikan rumah dan lahan.
Rumah sebagai kebutuhan
dasar manusia, perwujudannya bervariasi menurut siapa penghuni atau pemiliknya.
Berdasarkan hierarchy of need (Maslow, 1954:10), kebutuhan
akan rumah dapat didekati sebagai:
1. Physiological needs (kebutuhan akan makan dan minum), merupakan
kebutuhan biologis yang hampir sama untuk setiap orang, yang juga merupakan
kebuthan terpenting selain rumah, sandang, dan pangan juga termasuk dalam
tahap ini.
2. Safety or security needs (kebutuhan akan keamanan),merupakan tempat
berlindung bagi penghuni dari gangguan manusia dan lingkungan yang tidak
diinginkan.
3. Social or afiliation needs (kebutuhan berinteraksi), sebagai tempat untuk
berinteraksi dengan keluarga dan teman.
4. Self actualiztion needs (kebutuhan akan ekspresi diri), rumah bukan hanya
sebagai tempat tinggal, tetapi menjadi tempat untuk mengaktualisasikan diri.
Lingkungan permukiman
merupakan suatu sistem yang terdiri dari lima elemen, yaitu (K. Basset dan John
R. Short, 1980, dalam Kurniasih) :
§ Nature (unsur
alami), mencakup sumber-sumber daya alam seperti topografi, hidrologi, tanah,
iklim, maupun unsur hayati yaitu vegetasi dan fauna.
§ Man (manusia
sebagai individu), mencakup segala kebutuhan pribadinya seperti biologis,
emosional, nilai-nilai moral, perasaan, dan perepsinya.
§ Society (masyarakat),
adanya manusia sebagai kelompok masyarakat.
§ Shells (tempat),
dimana mansia sebagai individu maupun kelompok melangsungkan kegiatan atau
melaksanakan kehidupan.
§ Network (jaringan),
merupakan sistem alami maupun buatan manusia, yang menunjang berfungsinya
lingkungan permukiman tersebut seperti jalan, air bersih, listrik, dan
sebagainya.
Berdasarkan pengertian
tersebut, maka pada dasarya suatu permukiman terdiri dari isi (contents)
yaitu manusia, baik secara individual maupun dalam masyarakat dan wadah yaitu
lingkungan fisik permukiman lingkungan fisik permukiman yang merupakan wadah
bagi kehidupan manusia dan merupakan pengejawantahan dari tata nilai, sistem
sosial, dan budaya masyarakat yang membentuk suatu komunitas sebagai bagian
dari lingkungan permukiman tersebut.
Menurut Silas (1993)
dalam Razziati (1999:15) mengatakan bahwa desa pinggiran di Surabaya yang
berlokasi dalam jangkauan peluang kerja, dibandingkan dengan di kampung, biaya
penyediaan rumah di desa lebih murah. Bermacam bentuk pembiayaan dengan
berbagai cara pembayaran, selain aspek positif dari peluang bangunan. Desa-desa
tersebut tersebar dalam kisaran 100 Ha – 400 Ha, dengan penduduk antara 100 –
4000 orang atau 250 – 800 rumahtangga per desa. Kurang lebih sekitar 1/5 dari
luas tanah digunakan untuk perumahan dengan kepadatan sekitar 150 orang/Ha,
dimana 4/5 luas tanahnya untuk lahan pertanian.
Di desa pinggiran kota,
rumah atau ruang kamarnya dapat dijual atau disewakan serta dikontrakkan dengan
perjanjian yang fleksibel, dan separoh (jauh lebih murah) dari harga di kampung
kota. Penjualan tanah untuk bangunan tidak umum pada waktu itu (sebelum tahun
1970-an). Sampai awal tahun 1970-an, kebanyakan desa pinggiran di Surabaya
memiliki tingkat pertumbuhan yang rendah. Tetapi sejak mengacu pada kebijakan pembangunan
kota, para pengembang menjadi tertarik pada desa serta potensinya. Banyak
pembangunan proyek real estate dekat desa dan mempengaruhi harga tanah di desa
tersebut. Dalam kurun waktu akhir 1970-an, harga tanah untuk kepentingan
pembangunan formal melonjak 100% - 150%. Meskipun harga tanah sudah naik, pada
perumahan untuk golongan pendapatan rendah, kenaikan harganya masih berkisar
20% - 50% dibanding tahun sebelumnya.
Berdasarkan Razziati
(1999), masuknya industri besar ke sebuah desa akan berpengaruh terhadap
perkembangan hunian di desa tersebut melalui transformasi sosial
ekonomi. Bila dibandingkan dengan Kota Surabaya, maka Desa
Cangringmalang sebagai desa pinggiran mempunyai karakteristik yang hampir sama
dengan pada kurun waktu tahun 1970-an. Harga tanah pun masih rendah seperti
sebelum desa pinggiran Surabaya tersebut berkembang pesat. Yang membedakan
antara desa-desa tersebut adalah penyediaan sarana dan prasarana serta
fasilitas lain.
Dalam penentuan lokasi
suatu permukiman, perlu adanya suatu kriteria atau persyaratan untuk menjadikan
suatu lokasi sebagai lokasi permukiman. Kriteria tersebut antara lain:
1. Tersedianya lahan yang cukup bagi pembangunan lingkungan
dan dilengkapi dengan prasarana lingkungan, utilitas umum dan fasilitas sosial.
2. Bebas dari pencemaran air, pencemaran udara dan
kebisingan, baik yang berasal dari sumber daya buatan atau dari sumber daya
alam (gas beracun, sumber air beracun, dsb).
3. Terjamin tercapainya tingkat kualitas lingkungan hidup
yang sehat bagi pembinaan individu dan masyarakat penghuni.
4. Kondisi tanahnya bebas banjir dan memiliki kemiringan
tanah 0-15 %, sehingga dapat dibuat sistem saluran air hujan (drainase) yang
baik serta memiliki daya dukung yang memungkinkan untuk dibangun perumahan.
5. Adanya kepastian hukum bagi masyarakat penghuni terhadap
tanah dan bangunan diatasnya yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku, yaitu :
- Lokasinya harus strategis dan tidak terganggu oleh
kegiatan lainnya.
- Mempunyai akses terhadap pusat-pusat pelayanan, seperti
pelayanan kesehatan, perdagangan, dan pendidikan.
- Mempunyai fasilitas drainase, yang dapat mengalirkan air
hujan dengan cepat dan tidak sampai menimbulkan genangan air.
- Mempunyai fasilitas penyediaan air bersih, berupa
jaringan distribusi yang siap untuk disalurkan ke masing-masing rumah.
- Dilengkapi dengan fasilitas pembuangan air kotor, yang
dapat dibuat dengan sistem individual yaitu tanki septik dan lapangan rembesan,
ataupun tanki septik komunal.
- Permukiman harus dilayani oleh fasilitas pembuangan
sampah secara teratur agar lingkungan permukiman tetap nyaman.
- Dilengkapi dengan fasilitas umum, seperti taman bermain
untuk anak, lapangan atau taman, tempat beribadah, pendidikan dan kesehatan
sesuai dengan skala besarnya permukiman tersebut.
- Dilayani oleh jaringan listrik dan telepon.
(Sumber: “Pedoman Teknik
Pembangunan Perumahan Sederhana Tidak Bersusun” Departemen PU)
Hal yang sama mengenai
persyaratan lokasi permukiman juga dijelaskan dalam Joseph De Chiara dalam
Standar Perencanaan Tapak, 1994, dimana yang harus dipertimbangkan dalam pemilihan
perumahan tapak untuk perumahan apabila ingin dicapai pembangunan dan
pemeliharaan yang sehat, antara lain:
A. Sifat Khas Fisis Tapak yang Penting
1. Kondisi tanah dan bawah tanah.
Kondisi bawah tanah dan
harus sesuai dengan untuk pekerjaan galian dan persiapan, peletakan jaringan
utilitas serta pelandaian dan penanaman, memberikan daya dukung yang baik untuk
penghematan konstruksi bangunan yang akan dibangun. Untuk menghemat konstruksi,
sebaiknya lapisan bawa tanah tidak mengandung batuan keras atau rintangan lain
untk efisiensi galian utilitas pondasi atau kolong bangunan.
2. Air tanah dan drainase
Muka air tanah yang
relatif rendah untuk untuk melingdungi bangunan dari genangan pada kolong
bangunan dan gangguan air selokan, tidak adanya rawa, dan kelandaian lereng
yang cukup memungkinkan penyaluran curah hujan permukaan normal dan kelancaran
aliran air selokan.
3. Keterbebasan dari banjir permukaan
Daerah pembangunan harus
terbebas dari bahaya banjir permukaan yang disebabkan oleh sungai, danau atau
air pasang.
4. Kesesuaian penapakan bangunan yang akan direncanakan
Lahan tidak boleh terlalu
curam demi kebaikan kelandaian dalam kaitannya dengan kostruksi hunian. Tapak
bangunan tidak boleh mempunyai ketinggian melebihi kemampuan jangkuan air untuk
keperluan rumah tangga dan penangulangan kebakaran.
5. Kesesuaian untuk akses dan sirkulasi
Topografi harus
memungkinkan pencapaian yang baik oleh kendaraan maupun pejalan kaki, ke dan di
dalam tapak. Topografi juga harus memungkinkan pelandaian yang sesuai dengan
standar yang ada.
6. Kesesuaian untuk pembangunan ruang terbuka
Lahan untuk halaman
pribadi, tempat bermain dan taman lingkungan harus memungkinkan pelandaian dan
pembangunan yang sesuai dengan spesifikasi.
7. Keterbatasan dari bahaya kecelakaan topografi
Daerah yang akan dibangun
hendaknya bebas dari kondisi topografi yang dapat menyebabkan kecelakaan,
seperti galian, lubang yang menganga, dan garis pantai yang berbahaya.
B. Ketersediaan Pelayanan Saniter dan Perlindungan
1. Persediaan air dan pembuangan air selokan saniter
Sistem persediaan air dan
pembuangan harus dipandang sebagai pelayanan saniter jangka panjang dan bukan
hanya sekedar instalasi fisis. Penyetujuan dini dari pihak berwenang dibidang
kesehatan merupakan prasyarat untuk pembuatan fasilitas pembuangan air kotor
pada tapak dan untuk usulan pengembangan jaringan air maupun selokan yang akan
melayani tapak tersebut.
2. Pembuangan sampah
Apabila pelayanan sampah
kota dapat diadakan, maka pemilihan tapak yang menyangkut hal ini tidak akan
menemui masala. Tetapi kebutuhan fasilitas pengolahan sampah pada tapak atau di
sekitas tapak untuk penguburan, pembakaran dan proses kimiawi memerlukan upaya
penelaahan untuk pengalaman. Masalah yang utama adalah pemisahan lahan untuk
pembuangan, penghindaran bau-bauan yang disebar oleh angin serta penggunaan
metode pembuangan untuk mencegah bersarangnya tikus dan pembiakan serangga.
3. Listrik, bahan bakar dan komunikasi
Listrik sangat penting
untuk setiap rumah, tetapi karena pelayanan listrik biasanya dapat diperluas
untuk suatu pembangunan dan dapat dibangkitkan apabila diperlukan maka listrik
jarang menimbulkanmaslah dalam pemilihan tapak. Gas tidak dianggap sebagai
utilitas yang penting. Apabila keperluan gas berada di luar jangkauan jaringan
pelayanan, maka tabung gas bertekanan tinggi yang mudah diangkut dapat
digunakan. Pelayanan telepon, seperti listrik dapat diperluas untuk tapak yang memerlukannya.
4. Pengamanan oleh polisi dan penyelamat kebakaran
Kelayakan perlindungan
oleh polisi tidak begitu terpengaruh oleh lokasi, tetapi seperti halnya
perlindungan terhadap kebakaran, apabila letak tempatnya terisolir maka segi
pembiayaan harus diperhitungkan.
C. Keterbatasan Dari Bahaya dan Gangguan Setempat
1. Bahaya kecelakaan
Bahaya utama kecelakaan
utama adalah tabarakan dengan kendaraan bermotor lainnya, bahaya api dan
ledakan, jatuh, dan tenggelam. Penyebab tabrakan adalah lalu lintas jalan dan
jalan kereta api serta musibah pendaratan pesawat terbang di dekat jalur
pendaratan.
2. Kebisingan dan getaran
Kebisingan yang
berlebihan, kadang-kadang disertai getaran biasanya dihasilkan oleh jalan
kereta api, bandar udara, lalu lintas, industri berat, peluit kapal, dan
sebagainya. Perumahan tidak boleh terletak pada tapak yang terus menerus
dilanda kebisingan yang tidak terkendali, terutama di malam hari.
3. Bau-bauan, asap dan debu
Sumber bau-bauan yang
tidak sedap biasanya adalah:
ü Pabrik, industri, terutama rumah potong hewan, penyamakan
kulit dan pabrik yang menghasilkan produk dari binatang; industri karet, kimia
dan pupuk, pewarnaan atau pencucian tekstil; pabrik kertas, sabun dan cat; dan
pabrik gas.
ü Tempat pembuangan sampah, terutama apabila proses
pemusnahan melibatkan pembakaran.
ü Sungai yang dikotori air selokan, atau instalasi
pengolahan tinja yang tidak berjalan dengan sempurna.
ü Peternakan, terutama babi dan kambing, terutama apabila
dipelihara secara berdesak-desakan dan dalam keadaan kotor.
ü Asap lalu lintas kendaraan bermotor dan kereta api dengan
bahan bakar batubara. Sumber asap dan debu yang sering dijumpai adalah
industri, jalur kereta api, tempat pembuangan dan kebakaran sampah. Debu juga
berasal dari lahan terbuka seperti lahan kosong, perkebunan yang tidak
ditanami, tempat rekreasi yang tak terurus dan daerah berdebu yang luas.
(Dirangkum dari: Joseph
De Chiara; Lee E. Koppelman. Standar Perencanaan Tapak. 1994. Hal: 91-95)
D. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan Permukiman
Keberadaan suatu
permukiman dapat mempengaruhi berkembangnya suatu wilayah, dan sebaliknya
kegiatan pembangunan dalam suatu wilayah dapat mempengaruhi berkembangnya permukiman.
Permukiman berkaitan secara langsung dengan kehidupan dan harkat hidup manusia,
faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan permukiman cukup banyak, antara
lain faktor geografis, faktor kependudukan, faktor kelembagaan, faktor swadaya
dan peran serta masyarakat, faktor keterjangkauan daya beli, faktor
pertanahan, faktor ekonomi dan moneter. Faktor-faktor lain yang berpengaruh
terhadap pembangunan perumahan adalah disebabkan oleh perubahan nilai-nilai
budaya masyarakat.
(Sumber: “Jurnal
Perencanaan Wilayah Dan Kota, Nomor 12.April 1994)
Sedangkan menurut
Siswono, ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan permukiman
yang dapat dilihat dari 9 aspek, antara lain: letak geografis, kependudukan,
sarana dan prasarana, ekonomi dan keterjangkauan daya beli, sosial budaya, ilmu
pengetahuan dan teknologi, kelembagaan, dan peran serta masyarakat
(Sumber : Siswono, dkk)
1. Faktor geografi
Letak geografis suatu
permukiman sangat menentukan keberhasilan pembangunan suatu kawasan. Permukiman
yang letaknya terpencil dan sulit dijangkau akan sangat lambat untuk
berkembang. Topografi suatu kawasan juga berpengaruh, jika topografi kawasan
tersebut tidak datar maka akan sulit bagi daerah tersebut untuk berkembang.
Lingkungan alam dapat mempengaruhi kondisi permukiman, sehingga menambah
kenyamanan penghuni permukiman.
2. Faktor Kependudukan
Perkembangan penduduk
yang tinggi, merupakan permasalahan yang memberikan pengaruh yang sangat besar
terhadap pembangunan permukiman. Jumlah penduduk yang besar merupakan sumber
daya dan potensi bagi pembangunan, apabila dapat diarahkan menjadi manusia
pembangunan yang efektif dan efisien. Tetapi sebaliknya, jumlah penduduk yang
besar itu akan merupakan beban dan dapat menimbulkan permasalahan bila tidak diarahkan
dengan baik. Disamping itu, penyebaran penduduk secara demografis yang tidak
merata, merupakan permasalahan lain berpengaruh terhadap pembangunan perumahan.
3. Faktor Kelembagaan
Faktor lain yang
berpengaruh terhadap pembangunan perumahan adalah perangkat kelembagaan yang
berfungsi sebagai pemegang kebijaksanaan, pembinaan, dan pelaksanaan baik
sektor pemerintah maupun sektor swasta, baik di pusat maupun di daerah. Secara
keseluruhan perangkat kelembagaan tersebut belum merupakan suatu sistem terpadu.
Menurut UU No. 5 Tahun 1979, Pemda memegang peranan dan mempunyai posisi
strategis dalam pelaksanaan pembangunan perumahan. Namun unsur-unsur perumahan
di Tingkat Daerah yang melaksanakan program khusus untuk koordinasi, baik dalam
koordinasi vertikal maupun horisontal dalam pembangunan perumahan, masih perlu
dimantapkan dalam mempersiapkan aparaturnya.
Termasuk didalamnya
adalah kebijaksanaan yang mengatur kawasan permukiman, keberadaan
lembaga-lembaga desa, misalnya LKMD, Karang Taruna, Kelompok wanita dan
sebagainya.
4. Faktor Swadaya dan Peran Serta Masyarakat
Dalam rangka membantu
golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah, menengah, tidak tetap, perlu
dikembangkan pembangunan perumahan secara swadaya masyarakat yang dilakukan
oleh berbagai organisasi non-pemerintah. Dalam hal ini dapat dinyatakan bahwa
masyarakat yang berpenghasilan tidak tetap serta amat rendah dan tidak
berkemampuan tersebut mampu membangun rumahnya sendiri dengan proses bertahap,
yakni mula-mula dengan bahan bangunan bekas atau sederhana, kemudian lambat
laun diperbaiki dengan bangunan permanen bahkan ada pula beberapa rumah yang
sudah bertingkat. Faktor swadaya dan peran serta masyarakat atau aspek sosial
tersebut juga meliputi kehidupan sosial masyarakat, kehidupan bertetangga,
gotong royong dan pekerjaan bersama lainnya.
5. Sosial dan Budaya
Faktor sosial budaya
merupakan faktor internal yang mempengaruhi perkembangan permukiman. Sikap dan
pandangan seseorang terhadap rumahnya, adat istiadat suatu daerah, kehidupan
bertetangga, dan proses modernisasi merupakan faktor-faktor sosial budaya.
Rumah tidak hanya sebagai tempat berteduh dan berlindung terhadap bahaya dari
luar, tetapi berkembang menjadi sarana yang dapat menunjukkan citra dan jati
diri penghuninya.
6. Ekonomi dan Keterjangkauan Daya Beli
Aspek ekonomi meliputi
yang berkaitan dengan mata pencaharian. Tingkat perekonomian suatu daerah yang
tinggi dapat meningkatkan perkembangan permukiman. Tingkat perekonomian suatu
daerah akan mempengaruhi tingkat pendapatan seseorang. Makin tinggi pendapatan
sesorang, maka makin tinggi pula kemampuan orang tersebut dalam memiliki rumah.
Hal ini akan meningkatkan perkembangan permukiman di suatu daerah.
Keterjangkauan daya beli masyarakat terhadap suatu rumah akan mempengaruhi
perkembangan permukiman. Semakin murah harga suatu rumah di daerah tertentu,
semakin banyak pula orang yang membeli rumah, maka semakin berkembanglah
permukiman yang ada.
7. Sarana dan Prasarana
Kelengkapan sarana dan
prasarana dari suatu perumahan dan permukiman dapat mempengaruhi perkembangan
permukiman di suatu wilayah. Dengan adanya sarana dan prasarana yang memadai
dapat memudahkan penduduknya untuk beraktivitas sehari-hari. Semakin lengkap
sarana dan prasarana yang tersedia maka semakin banyak pula orang yang
berkeinginan bertempat tinggal di daerah tersebut.
8. Pertanahan
Kenaikan harga lahan
sebagai akibat penyediaan kelangkaan lahan untuk permukiman, menyebabkan
timbulnya slum dan squatter.
9. Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi dapat meningkatkan perkembangan perumahan dan
permukiman. Dengan diciptakannya teknologi-teknologi baru dalam bidang jasa
konstruksi dan bahan bangunan maka membuat pembangunan suatu rumah akan semakin
cepat dan dapat menghemat waktu. Sehingga semakin banyak pula orang-orang yang
ingin membangun rumahnya. Hal ini akan meningkatkan perkembangan permukiman.
Amos Rapoport (1983) juga
menyatakan bahwa permukiman dapat dilihat sebagai suatu bentang lahan budaya (cultural
landscape feature) terutama permukiman tradisional yang wujud fisiknya
sangat besar kaitannya dengan budaya, dimana ciri-cirinya adalah:
1. Di dalamnya terdapat hubungan/kaitan antara berbagai
elemen dan juga sifat dan elemen-elemen tersebut, termasuk antara lingkungan
binaan dengan lingkungan alami.
2. Mempunyai ciri dan karakteristik yang khas, umumnya
mengandung budaya yang spesifik.
3. Tidak dirancang oleh seorang perancang. Perancangan
merupakan suatu konsep yang lebih luas yang merupakan perwujudan dan
keputusan-keputusan dan pilihan-pilihan manusia, sebuah pilihan diantara
berbagai alternatif yang memungkinkan.
4. Terdapat sifat-sifat spesifik dan pilihan-pilihan
tersebut yaitu didasarkan atas hukum yang berlaku, merefleksikan budaya pada
kelompoknya.
5. Merupakan sistem pilihan dan gaya hidup, meliputi
pilihan-pilihan bagaimana menentukan material, waktu dan sumber-sumber
simbolik.
6. Bentang budaya misalnya permukiman adalah merupakan
sebuah produk dan sistem pilihan tersebut.
7. Konservasi-preservasi dan bentang budaya yang merupakan
suatu tingkatan dan kualitas lingkungan. Konservasi dan prisip-prinsip dalam
bentang budaya tradisional dapat diterapkan dalam rancangan yang baru.
8. Kualitas lingkungan, yang menyangkut persepsi (terkait
dengan psikologikal, sosio kultur) dan standar (terkait dengan studi
fisik dan lingkungan).
0 komentar:
Posting Komentar