Rabu, 11 Desember 2024

Prinsip-prinsip dasar dalam perencanaan penggunaan lahan yang berulang berdasarkan tiga buku handbooks yang sering digunakan dalam konteks perencanaan lahan: Land Use Planning Handbook (BLM), Land Use Planning: Concept, Tools, and Applications, dan Land Use Planning: Methods, Strategies, and Tools.


1.     Land Use Planning Handbook (BLM)

Prinsip utama yang diajarkan dalam buku ini berfokus pada pengelolaan lahan yang berkelanjutan dan adaptif.

a.     Prinsip Pengelolaan Berkelanjutan

Menekankan pentingnya menjaga keseimbangan antara pemanfaatan sumber daya alam dan perlindungannya. Dalam konteks iteratif, proses perencanaan dimulai dengan penyusunan rencana berdasarkan data dan kebutuhan yang ada. Namun, rencana tersebut selalu dipantau dan dievaluasi secara berkala. Jika ada perubahan dalam kondisi ekologi atau sosial, maka rencana penggunaan lahan tersebut akan direvisi.

b.     Keterlibatan Publik

Perencanaan lahan yang baik juga melibatkan berbagai pemangku kepentingan, termasuk masyarakat lokal, yang dapat memberikan input tentang bagaimana lahan seharusnya digunakan. Keterlibatan ini adalah bagian penting dari proses iteratif karena memungkinkan pengambilan keputusan yang lebih inklusif dan responsif terhadap kebutuhan nyata masyarakat.

c.      Contoh Implementasi

Dalam pengelolaan taman nasional atau kawasan lindung, rencana penggunaan lahan yang diterapkan harus mampu melindungi flora dan fauna sambil memberi ruang bagi kegiatan rekreasi publik yang aman dan terkendali.

2.     Land Use Planning: Concept, Tools, and Applications

Buku ini memberikan wawasan lebih dalam tentang teori dan konsep dasar perencanaan penggunaan lahan, serta berbagai alat yang digunakan untuk mendukung keputusan perencanaan. Dalam buku ini menekankan pada bagaimana pendekatan holistik dan penggunaan teknologi dalam perencanaan iteratif.

a.     Pendekatan Holistik dan Terintegrasi

Salah satu prinsip utama dalam buku ini adalah bahwa perencanaan penggunaan lahan tidak boleh dilihat secara terpisah dari faktor sosial, ekonomi, dan lingkungan. Setiap keputusan yang dibuat harus mempertimbangkan dampaknya terhadap ketiga aspek tersebut secara bersamaan. Dalam perencanaan iteratif, ini berarti bahwa setiap penyesuaian terhadap rencana harus melibatkan penilaian terhadap semua faktor yang relevan, baik itu terkait dengan pembangunan infrastruktur, perubahan sosial, atau kondisi lingkungan.

b.     Teknologi dan Alat Perencanaan

Penggunaan alat perencanaan berbasis teknologi seperti Geographic Information System (GIS) adalah aspek penting dalam perencanaan penggunaan lahan yang berulang. Dengan teknologi seperti GIS, perencana dapat digambarkan dalam bentuk perubahan penggunaan lahan dari waktu ke waktu dan menganalisis dampak dari kebijakan atau perubahan tertentu. Alat ini mendukung evaluasi dan penyesuaian berkelanjutan, yang memungkinkan perencanaan tetap relevan dan responsif terhadap perubahan.

c.      Contoh Implementasi

Perencanaan kota yang berkelanjutan, di mana pertumbuhan ekonomi, infrastruktur, dan kualitas hidup masyarakat harus dipertimbangkan bersama dengan pelestarian ruang hijau dan mitigasi perubahan iklim.

 

3.     Land Use Planning: Methods, Strategies, and Tools

Buku ini lebih berfokus pada metode praktis dan strategi yang digunakan untuk mendukung keputusan dalam perencanaan penggunaan lahan, dengan perhatian khusus pada analisis dampak dan penggunaan alat teknis.

a.     Metode Analisis dan Evaluasi

Dalam metode ini berbagai analisis yang digambarkan dan menjelaskan bagaimana analisis multi-kriteria dan pemodelan spasial dalam perencanaan. Metode ini memungkinkan perencana untuk mengevaluasi berbagai pilihan penggunaan lahan berdasarkan berbagai kriteria dan membuat keputusan yang lebih baik dan terinformasi.

b.     Pengelolaan Dinamis dan Responsif

Prinsip lain yang diangkat adalah pentingnya perencanaan yang dinamis dan responsif terhadap perubahan eksternal, seperti bencana alam atau urbanisasi yang pesat. Rencana penggunaan lahan harus dipersiapkan untuk menghadapi ketidakpastian dan perubahan yang tak terduga.

c.      Contoh Implementasi

Penggunaan GIS untuk menganalisis lahan yang rawan banjir dan membuat keputusan berbasis data yang dapat membantu mitigasi risiko bencana alam.

Dari ketiga handbooks yang ada menjelaskan perbedaan dari perencanaan penggunaan lahan yang berulang (iteratif) membahas tentang perspektif yang berbeda namun saling melengkapi dalam penerapan perencanaan lahan yang adaptif dan responsif. Buku Land Use Planning Handbook (BLM) menekankan pada pengelolaan lahan publik yang berkelanjutan dan inklusif, sementara Land Use Planning: Concept, Tools, and Applications menawarkan pendekatan holistik yang mengintegrasikan teknologi untuk mendukung keputusan. Buku Land Use Planning: Methods, Strategies, and Tools mengajarkan pentingnya analisis teknis dan evaluasi dampak yang terus-menerus untuk memperbaiki perencanaan penggunaan lahan. Dengan adanya ketiga buku ini, perencanaan penggunaan lahan dapat dipastikan bahwa lahan digunakan harus secara efektif untuk kepentingan masyarakat, sambil mempertahankan kualitas lingkungan dan sumber daya alam untuk generasi mendatang.

Handbooks Land Use Planning Handbook (BLM), Land Use Planning: Concept, Tools, and Applications, dan Land Use Planning: Methods, Strategies, and Tools

 Kompilasi 3 (tiga) Handbooks Land Use Planning Handbook (BLM), Land Use Planning: Concept, Tools, and Applications, dan Land Use Planning: Methods, Strategies, and Tools

a.      Apa yang di maksud dengan perencaan penggunaan Lahan sebagai proses yang berulang Iterarif Proses

b.     Prinsip-prinsip Perencanaan Penggunaan Lahan

Jawaban

a.      Perencanaan penggunaan lahan yang berulang adalah proses yang dinamis, yang menggabungkan evaluasi dan revisi berkelanjutan dari kebijakan perencanaan seiring berjalannya waktu. Dalam hal ini, tiga buku yang dijadikan acuan yaitu, Land Use Planning Handbook (BLM), Land Use Planning: Concept, Tools, and Applications, dan Land Use Planning: Methods, Strategies, and Tools memberikan perspektif yang berbeda tentang bagaimana perencanaan ini dijalankan.

1.   Land Use Planning Handbook (BLM)

Buku ini lebih terfokus pada pedoman bagi pengelolaan lahan publik yang dikelola oleh Bureau of Land Management (BLM), yang mengutamakan penggunaan yang berkelanjutan dari sumber daya alam. Iterasi sebagai Proses Adaptif Proses perencanaan bersifat iteratif, di mana setiap evaluasi dan penyesuaian terhadap rencana pengelolaan dilakukan berdasarkan pemantauan dan data terbaru. Misalnya, hasil pemantauan dari eksplorasi energi atau penggunaan air di lahan publik akan dievaluasi dan dapat memicu perubahan kebijakan atau pengelolaan lebih lanjut. Evaluasi berulang ini juga terkait erat dengan regulasi seperti FLPMA dan NEPA, yang mengharuskan adanya penyesuaian terhadap perubahan kondisi ekologi atau sosial yang terjadi setelah rencana diterapkan.

2.     Land Use Planning: Concept, Tools, and Applications

Buku ini memberikan pendekatan yang lebih luas dan konseptual terhadap perencanaan penggunaan lahan, termasuk penggunaan alat-alat teknis untuk mendukung keputusan. Perencanaan yang berulang diartikan sebagai proses yang dimulai dari pengumpulan data awal, disusul dengan analisis, implementasi, dan evaluasi hasilnya. Proses ini kemudian diulang setiap kali kondisi atau data baru muncul. Pendekatan ini memastikan bahwa perencanaan penggunaan lahan selalu dapat beradaptasi dengan kebutuhan yang berubah. Penggunaan teknologi seperti GIS (Geographic Information Systems) menjadi penting dalam mendukung siklus iteratif ini. Dengan GIS, perencana dapat menggambarkan dampak perubahan penggunaan lahan dan menilai apakah rencana tersebut perlu disesuaikan atau tidak sesuai dengan hasil analisis yang dhasilkan.

3.     Land Use Planning: Methods, Strategies, and Tools

Buku ini lebih mengarah pada metode-metode praktis yang digunakan untuk mendukung perencanaan penggunaan lahan yang berulang, dengan fokus pada alat yang dapat digunakan oleh perencana. Dalam handboosk ini menyarankan penggunaan lahan dengan berbagai alat analisis seperti permodelan multi-kriteria dan simulasi dampak untuk membantu perencana dalam memutuskan langkah-langkah yang perlu diambil setelah setiap siklus evaluasi. Juga pada Perencanaan iteratif ini juga mencakup respons terhadap perubahan mendalam seperti bencana alam atau urbanisasi yang cepat. Data yang dihasilkan dari pemantauan risiko atau perubahan pola penggunaan lahan akan langsung mempengaruhi keputusan tentang bagaimana lahan seharusnya digunakan ke depan.

Secara umum, ketiga buku tersebut mengajarkan bahwa perencanaan penggunaan lahan yang berulang adalah siklus yang terus berkembang. Buku Land Use Planning Handbook (BLM) lebih berfokus pada kebijakan pengelolaan lahan publik yang berkelanjutan, sedangkan Land Use Planning: Concept, Tools, and Applications menyediakan alat konseptual untuk perencanaan yang fleksibel dan dapat disesuaikan dengan kondisi yang berubah. Di sisi lain, Land Use Planning: Methods, Strategies, and Tools menawarkan pendekatan teknis dan alat analitis untuk memastikan bahwa perencanaan dapat diadaptasi dengan tepat berdasarkan data dan hasil evaluasi yang diperoleh sepanjang waktu.


Perencanaan Penggunaan Lahan Perkotaan

 

”Perencanaan Penggunaan Lahan Perkotaan”

Pengertian yang luas digunakan tentang lahan ialah suatu daerah permukaan daratan bumi yang ciri‐cirinya mencakup segala tanda pengenal, baik yang bersifat cukup mantap maupun yang dapat diramalkan bersifat mendaur, dari biosfer, atmosfer, tanah, geologi, hidrologi dan populasi tumbuhan dan hewan, serta hasil kegiatan manusia pada masa lampau dan masa kini, sejauh tanda‐tanda pengenal tersebut memberikan pengaruh murad atas penggunaan lahan oleh manusia pada masa kini dan masa mendatang (Notohadiprawiro, 1991).

Sedangkan Chapin, F. Stuart dan Edward J. Kaiser (1979), memberikan pengertian lahan pada dua skala yang berbeda yaitu lahan pada wilayah skala luas dan pada konteks skala urban. Dalam lingkup wilayah yang luas, lahan adalah resource (sumber) diperolehnya bahan mentah yang dibutuhkan untuk menunjang keberlangsungan kehidupan manusia dan kegiatannya. Dalam konteks resource use lahan diklasifikasikan kedalam beberapa kategori, yaitu pertambangan, pertanian, pengembalaan dan perhutanan.

Penggunaan lahan saat ini dirasakan semakin penting karena laju pertumbuhan penduduk yang tinggi membuat penggunaan lahan oleh manusia pada daerah yang luas dan tersebar benar-benar sangat kompleks. Penggunaan lahan pada saat sekarang (present land use) merupakan pertanda adanya dinamika dari eksploitasi oleh manusia (baik secara perorangan maupun masyarakat) terhadap sekumpulan sumberdaya alam untuk memenuhi kebutuhannya. Kota dengan segala sarana dan fasilitasnya merupakan tempat bagi penduduk untuk melakukan berbagai macam aktivitas. Bertambahnya jumlah penduduk baik itu disebabkan oleh pertambahan alami maupun migrasi berimplikasi pada semakin besarnya tekanan penduduk atas pemanfaatan lahan kota. Bentuk penggunaan lahan suatu perkotaan mencerminkan aktivitas penduduk di wilayah tersebut. Bertambahnya jumlah penduduk baik itu disebabkan oleh pertambahan alami maupun migrasi berimplikasi pada semakin besarnya tekanan penduduk atas pemanfaatan lahan kota. Tuntutan akan kebutuhan lahan untuk tempat tinggal atau kawasan hunian serta untuk sarana menunjang fasilitas-fasilitas lain dan pendukungnya juga semakin meningkat.

Meningkatnya kebutuhan dan persaingan dalam penggunaan lahan baik dalam keperluan produksi pertanian, perkebunan, industri, jasa serta permukiman mendorong lahirnya pemikiran tentang bagaimana mengambil keputusan pemanfaatan lahan yang paling menguntungkan dari sumber daya yang terbatas. Dengan keadaan seperti ini perlu suatu perencanaan penggunaan lahan dan penataan kembali penggunaan lahan agar dapat dimanfaatkan secara optimal. Untuk itu perlu dilakukan kesesuaian penggunaan lahan agar bentuk penggambaran tingkat kecocokan sebidang lahan untuk suatu penggunaan tertentu dapat berjalan dengan baik. Hal ini akan menjadi persoalan bagi perencana, pengelola kota maupun penduduk itu sendiri apabila penggunaannya tidak sesuai dengan pemanfaatan yang semestinya.

            Penggunaan Lahan menurut Sandy (1977:24), dikatakan bahwa penggunaan lahan perkotaan diklasifikasikan sebagai berikut;

1.     lahan permukiman, meliputi perumahan termasuk pekarangan dan lapangan olah raga;

2.     lahan jasa, meliputi perkantoran pemerintah dan swasta, sekolahan, puskesmas dan tempat ibadah;

3.     lahan perusahaan, meliputi pasar, toko,kios dan tempat hiburan; dan

4.     lahan industri, meliputi pabrik dan percetakan.

Penggunaan Lahan Perkotaan Secara umum, pola penggunaan lahan perkotaan memiliki 3 ciri (Sadyohutomo, 2006:71), antara lain :

1.     Pemanfaatannya dengan intensitas yang tinggi yang disebabkan oleh populasi penduduk yang lebih tinggi dari kawasan pedesaan. Dengan demikian, dalam pasar investasi tingkat permintaan akan lahan juga tinggi dan nilai guna lahan kawasan perkotaan cenderung lebih tinggi pula.

2.     Adanya keterkaitan yang erat antar unit-unit penggunaan tanah.

3.     Ukuran unit-unit penggunaan lahan didominasi luasan yang relatif kecil. Hal ini sangat berbeda dengan kawasan pedesaan yang memungkinkan sebentang lahan yang luas memiliki satu fungsi yang sama sehingga cocok untuk kegiatan budi daya agraria.

 Secara umum, klasifikasi penggunaan tanah pada kawasan perkotaan dapat dibagi menjadi 7 jenis (Sadyohutomo, 2006: 72) , antara lain :

1.     Perumahan, berupa kelompok rumah sebagai tempat tinggal lengkap dengan prasarana dan sarana lingkungan.

2.     Perdagangan, berupa tempat transaksi barang da jasa yang secara fisik berupa bangunan pasar, toko, pergudangan dan lain sebagainya.

3.     Industri, adalah kawasan untuk kegiatan proses pengolahan bahan-bahan baku menjadi barang setangah jadi atau barang jadi.

4.     Jasa, berupa kegiatan pelayanan perkantoran pemerintah, semi komersial, kesehatan, sosial, budaya dan pendidikan.

5.     Taman, adalah kawasan yang berfungsi sebagai ruang terbuka publik, hutan kota dan taman kota.

6.     Perairan, adalah areal genangan atau aliran air permanen atau musiman yang terjadi secara buatan dan alami.

7.     Lahan kosong, berupa lahan yang tidak dimanfaatkan

Selaras dengan perkembangan kota dan aktivitas penduduknya maka lahan di kota terpetak-petak sesuai dengan peruntukkannya. Jayadinata (1992: 101) mengemukakan bahwa tata guna tanah perkotaan menunjukan pembagian dalam ruang dan peran kota.

Klasifikasi penggunaan lahan dikota terbagi atas beberapa, yaitu;

1.     Lahan kawasan lindung

2.     Lahan konstruksi

3.     Lahan industry manufaktur

4.     Lahan transportasi

5.     Lahan komunikasi

6.     Lahan utilitas umum

7.     Lahan perdagangan grosir

8.     Lahan perdagangan eceran

9.     Lahan perumahan mewah

10.  Lahan asuransi

11.  Lahan keuangan

12.  Lahan jasa pelayanan

13.  Lahan pemerintahan

14.  Lahan pendidikan

Terkait dengan bentuk distribusi keruangan pemanfaatan lahan, terdapat beberapa teori mengenai bentuk distribusi keruangan. Ada tiga bentuk keruangan penggunaan lahan permukiman/perumahan terutama di daerah perdesaan. Tiga pola pokok yang dia kemukakan adalah :

1.     Nucleated Agriculture Village Community

Komunitas desa yang terpusat atau nucleated village adalah pola pemukiman di mana rumah-rumah dibangun berdekatan dalam satu area yang terorganisir. Ini sering kali terjadi di daerah yang direncanakan, di mana rumah-rumah dan fasilitas umum seperti pasar dan tempat ibadah berada dalam jarak yang dekat. Pola ini memudahkan interaksi sosial dan pengelolaan sumber daya secara efisien.

2.     Line Village Community

Komunitas desa garis atau line village adalah tipe pemukiman di mana rumah-rumah dibangun dalam satu garis panjang, biasanya di sepanjang jalan atau sungai. Tipe ini sering ditemukan di daerah yang memiliki lahan terbatas, di mana pemukiman harus mengikuti bentuk geografis yang ada. Komunitas ini memungkinkan akses yang lebih mudah ke sumber daya alam dan transportasi, tetapi mungkin mengurangi interaksi sosial dibandingkan dengan komunitas terpusat.

3.     Open country or trade center community

Komunitas terbuka atau trade center community adalah tipe pemukiman yang berfungsi sebagai pusat perdagangan. Komunitas ini biasanya terletak di daerah yang lebih terbuka dan tidak terikat pada pola pemukiman tertentu. Mereka sering kali menjadi titik pertemuan bagi pedagang dan petani, memungkinkan pertukaran barang dan jasa. Komunitas ini dapat berkembang menjadi pusat ekonomi yang penting, menarik penduduk dari daerah sekitarnya.

Sedangkan Yunus (2008) menjelaskan teori tentang distribusi keruangan pemanfaatan lahan khususnya untuk Wilayah Peri Urban (WPU) yaitu teori Land Use Triangle : Continuum. Teori ini merupakan teori yang dianggap paling sesuai untuk WPU di negara‐negara berkembang. Dalam teori ini WPU merupakan wilayah yang ditandai oleh percampuran kenampakan fisikal kekotaan dan kedesaan dengan variasi proporsi percampuran dalam kisaran <100% kenampakan kedesaan maupun <100% kenampakan kekotaan. Percampuran terjadi secara kontinum makin ke arah lahan kekotaan terbangun utama, maka semakin besar proporsi lahan kekotaan dan makin jauh dari lahan terbangun utama makin besar proporsi lahan kedesaannya. Yunus (2008) menemukan 4 zona pada wilayah peri urban yaitu :

1.     Zona bingkai kota (zobikot)

2.     Zona bingkai kota‐desa (zobikodes)

3.     Zona bingkai desa‐kota (Zobidekot)

4.     Zona bingkai desa (Zobides).

 

            Perencanaan penggunaan lahan di kawasan perkotaan menjadi semakin penting seiring dengan meningkatnya urbanisasi dan pertumbuhan populasi. Proses ini bertujuan untuk mengatur dan mengelola ruang kota agar dapat digunakan secara efisien dan berkelanjutan. Penggunaan lahan yang tidak terencana dapat menyebabkan berbagai masalah, seperti kemacetan, polusi, dan penurunan kualitas hidup masyarakat. Oleh karena itu, pemahaman yang baik tentang konsep dan praktik perencanaan penggunaan lahan sangat diperlukan untuk menciptakan lingkungan perkotaan yang lebih baik.

            Penggunaan lahan perlu ditata dan direncanakan sesuai dengan fungsi dan karakteristik lahan, sehingga tercipta ruang yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan. Banyak contoh kasus kerugian yang disebabkan oleh ketidaksesuaian penggunaan lahan. Salah satu contoh dampak dari ketidaksesuaian penggunaan lahan adalah masalah banjir yang timbul sebagai akibat dari ketidaksesuaian penggunaan lahan. Misalnya, lahan yang seharusnya diperuntukkan bagi daerah resapan air digunakan bagi pembangunan permukiman. Perencanaan penggunaan lahan seperti ini dikenal dengan nama perencanaan tata guna lahan yang merupakan salah satu bentuk perwujudan fisik dari perencanaan tata ruang.

 

 

Daftar Pustaka

 

Chapin F. Stuart and Edward J. Kaiser. 1979. Urban Land Use Planning. University Chicago: University of Illionis Press.

Jayadinata, Johara T., Tata Guna Tanah dalam Perencanaan Pedesaan, Perkotaan dan Wilayah,

Ritohardoyo, Su. 2009. Pemanfaatan lahan hutan rakyat dan kehidupan sosial ekonomi penduduk : Kasus di daerah Kabupaten Gunung Kidul. Disertasi, Sekolah Pascasarjana UGM, Yogyakarta.

Sandy, I Made, Tata Guna Lahan Perkotaan dan Pedesaan, Jakarta: Penerbit Bharata Anindya, 1977.Bandung: ITB Bandung, 1992.

Sadyohutomo. (2006). Penatagunaan tanah. Penerbit Aditya Media Yogyakarta

Yunus, S. Hadi, Struktur Tata Ruang Kota, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000.

Yunus, Hadi Sabari. 2008. Dinamika Wilayah Peri‐Urban: Deterninan Masa Depan Kota. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

PERBEDAAN MODEL – MODEL PERENCANAAN DENGAN PERENCANAAN PARTISIPATIF

BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang

Perubahan paradigma sains mempengaruhi model-model perencanaan program pembangunan yang berkembang dewasa ini. Ciri utama paradigma tersebut adalah berpikir secara ilmiah dengan pendekatan sebab akibat, analogi-analogi, obyektif dan sistematis. Model berpikir dengan analisa-analisa mendalam tersebut selanjutnya disebut berpikir secara rasional, dan menjadi instrument dalam perencanaan pembangunan. Pola pendekatan model perencanaan seperti ini banyak diaplikasi pada proses perencanaan teknokrat/top down, dimana perencana berperan untuk ”melayani kelangsungan pusat kekuatan”.

Model perencanaan di Indonesia telah mengalami perkembangan seiring dengan perubahan sosial, politik, dan ekonomi di negara ini. Pada awalnya, model perencanaan di Indonesia didasarkan pada pendekatan top-down, di mana keputusan perencanaan dibuat oleh pemerintah pusat dan diimplementasikan ke tingkat yang lebih rendah. Namun, seiring dengan perkembangan demokrasi dan tuntutan partisipasi masyarakat, model perencanaan partisipatif mulai diperkenalkan.

Model perencanaan partisipatif di Indonesia bertujuan untuk melibatkan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan perencanaan. Dalam model ini, masyarakat memiliki peran aktif dalam mengidentifikasi masalah, menentukan prioritas, dan merumuskan solusi yang sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi mereka. Partisipasi masyarakat ini diharapkan dapat meningkatkan akuntabilitas, transparansi, dan keberlanjutan dari kebijakan dan program yang diimplementasikan.

Perkembangan model perencanaan di Indonesia juga dipengaruhi oleh adanya desentralisasi kebijakan dan otonomi daerah. Dengan adanya desentralisasi, pemerintah daerah memiliki kewenangan yang lebih besar dalam merencanakan dan mengimplementasikan kebijakan di tingkat lokal. Hal ini mendorong pengembangan model perencanaan yang lebih responsif terhadap kebutuhan dan karakteristik setiap daerah.

 

 

Namun, meskipun terdapat perkembangan dalam model perencanaan di Indonesia, masih terdapat tantangan dalam implementasinya. Beberapa tantangan yang dihadapi antara lain kurangnya kesadaran dan partisipasi masyarakat, keterbatasan sumber daya, dan koordinasi yang kurang efektif antara pemerintah pusat dan daerah.

Menurut Suzetta (2007), sebagai cerminan lebih lanjut dari demokratisasi dan partisipasi sebagai bagian dari good governance maka proses perencanaan program pembangunan juga melalui proses partisipatif. Pemikiran perencanaan partisipatif diawali dari kesadaran bahwa kinerja sebuah prakarsa pembangunan masyarakat sangat ditentukan oleh semua pihak yang terkait dengan prakarsa tersebut. Sejak dikenalkannya model perencanaan partisipatif istilah menjadi sangat meluas dan akhirnya dianggap sebagai idiom model ini. Berbagai model perencanaan partisipatif, maka Perencana menjadi fasilisator masyarakat, berperan untuk mempromotori partisipasi masyarakat dalam pencarian pemecahan. Yang perlu ditekankan disini adalah pendekatan ”dari bawah ke atas (bottom up) dan berusaha memberi wewenang masyarakat untuk menyelesaikan masalah mereka sendiri. Pusat beban perencana dipindahkan dari pemerintah dan penguasa kota kepada masyarakat.

BAB II

PEMBAHASAN

Dalam merencanakan sesuatu kegiatan agar tercapai tujuannya maka dibutuhkan sebuah perencanaan, dimana perencanaan adalah proses penetapan apa yang harus di capai, bila hal itu dicapai, dimana hal itu harus dicapai, bagaimana hal itu harus dicapai, siapa yang bertanggungjawab, dan penetapan mengapa hal itu harus dicapai, dengan menghubungkan fakta-fakta yang ada sehingga dapat memprediksikan situasi yang ada dimasa yang akan datang

Terry dalam bukunya Principle Of Management mengatakan bahwa perencanaan adalah suatu proses pemilihan dan menghubung-hubungkan fakta serta menggunakannya untuk menyusun asumsi-asumsi yang diduga bakal terjadi dimasa mendatang, untuk kemudian merumuskan kegiatan-kegiatan yang diusulkan untuk tercapainya tujuan yang diharapkan

Seorang manajer haruslah mengerti fungsi-fungsi dari manajemen salah satunya adalah perencanaan, dalam sebuah organisasi tentunya banyak sekali perubahan-perubahan yang akan dihadapi, namun perubahan-perubahan tersebut harus terencana dalam arti kita membuat perencanaan, dari asalany perencanaan dibagi menjadi model perencanaan atas, perencanaan bawah, dan perencanaan campuran. Model perencanaan di Indonesia telah mengalami perkembangan dari pendekatan top-down menjadi perencanaan partisipatif. Model perencanaan partisipatif ini bertujuan untuk melibatkan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan perencanaan. Namun, masih terdapat tantangan dalam implementasinya.

A. Perencanaan Button Up Dan Top Down

Perencanaan adalah salah satu aspek terpenting dari proses manajemen kinerja yang sukses di seluruh perusahaan. Dua pendekatan perencanaan yang paling umum adalah metode perencanaan top-down dan perencanaan bottom-up. Meskipun kedua model ini mewakili dua strategi yang berlawanan, keduanya memiliki kesamaan dalam cara perusahaan mengidentifikasi tujuan utamanya. Pada tingkat yang sangat mendasar, pendekatan top-down berusaha untuk bergerak dari hal yang umum ke hal yang khusus, sedangkan pendekatan bottom-up berupaya untuk bergerak dari hal yang khusus ke hal yang umum. Di perusahaan, kedua pendekatan ini sering digabungkan untuk membentuk proses yang berlawanan arah.

Top Down merupakan wujud pelaksanaan kekuasaan bersifat pendelegasiankewenenangan dalam rangka mendapatkan keseragaman, banyak dilaksanakan pada basisnegara/ pemerintahan, dan lain-lain, sedangkan Bottom Up merupakan upaya atau bentuk pemberdayaan, pengembangan model partisipatif, mengembangkan keberagaman, dan banyakdipakai pada basis komunitas / masyarakat, dan lain-lainIlustrasi Perencanaan merupakan tindakan untuk menentukan masa depan. Dalam Undang-undang Nomor 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, pasal 1disebutkan perencanaan adalah suatu proses untuk menentukan tindakan masa depan yang tepat,melalui urutan pilihan, dengan memperhitungkan sumber daya yang tersedia. Perencanaanadalah meletakkan tujuan-tujuan dalam jadwal waktu atau program pekerjaan untuk mendapathasil yang optimal. Oleh karena itu perencanaan merupakan sebuah keniscayaan, keharusan dankebutuhan. Perencanaan itu sendiri berfungsi sebagai penuntun arah, meminimalisasiketidakpastian, minimalisasi infesiensi sumber daya, penetapan standard dan pengawasankualitas. Berdasarkan prosesnya, perencanaan ini dibagi menjadi Perencanaan dari bawah ke atas(bottom-up planning) dan Perencanaan dari atas ke bawah.

            Proses perencanaan atau planning adalah bagian dari daur kegiatan manajemen yang terutama berhubungan dengan pengambilan keputusan (decision making) untuk masa depan, baik jangka panjang maupun jangka pendek, sehubungan dengan pokok pertanyaan: apa, siapa, bagaimana, kapan, di mana, dan berapa, baik sehubungan dengan lembaga yang dimana jemeni maupun usaha-usahanya. Proses perencanaan dapat dilaksanakan menyeluruh, misalnya dalam perencanaankorporat, perencanaan strategis, atau perencanaan jangka panjang. Bisa juga dilakukan per  divisiatauunit bisnis stategismenjadi rencana divisi atauanak perusahaantertentu di dalam suatukorporasi yang lebih besar. Bisa juga dilakukan per fungsi baik di dalam korporasi, di dalamdivisi maupun unit bisnis individual, misalnya rencana fungsi pemasaran, rencana fungsi keuangan, rencana fungsi produksidan distribusi, dan rencana fungsi personalia. Bagaimana punlingkup perencanaan yang dilakukan, pokok pertanyaan yang dipikirkan sama saja: apa, siapa, bagaimana, kapan, di mana, dan berapa. Perbedaannya menyangkut metode yang digunakanuntuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu.Saalah satu proses atau rencana perencanaan yang sering dilakukan dalam melakukanrencana pembangunan adalah dengan menggunakan sistem pembangunan yang bersifat ButtonUp. Button Up Planning adalah perencanaan yang dibuat berdasarkan kebutuhan, keinginan dan permasalahan yang dihadapi oleh bawahan bersama-sama dengan atasan menetapkan kebijakanatau pengambilan keputusan dan atasan juga berfungsi sebagai fasilitator. Sedangkan dalam pengertian dibidang pemerintahan, button up planning atau perencanaan bawah adalah perencanaan yang disusun berdasarkan kebutuhan mereka sendiri dan pemerintah hanya sebagaifasilitator.

Dari bawah ke atas (bottom-up). Pendekatan ini merupakan upaya melibatkan semua pihaksejak awal, sehingga setiap keputusan yang diambil dalam perencanaan adalah keputusan mereka bersama, dan mendorong keterlibatan dan komitmen sepenuhnya untuk melaksanakannya. Kelemahannya memerlukan banyak waktu dan tenaga untuk perencanaan. Diperlukan pengembangan budaya perusahaan yang sesuai.

Maka dapat disimpulkan, pendekatan perencanaan pembangunan Buttom-Up Planning adalah perencanaan yang dibuat berdasarkan kebutuhan, keinginan dan permasalahan yangdihadapi oleh bawahan bersama-sama dengan atasan menetapkan kebijakan atau pengambilankeputusan dan atasan juga berfungsi sebagai fasilitator. Sedangkan dalam pengertian dibidang pemerintahan, bottom-up planning atau perencanaan bawah adalah perencanaan yang disusun berdasarkan kebutuhan mereka sendiri dan pemerintah hanya sebagai fasilitator

B. Perencanaan Partisipatif

Pergeseran paradigma pembangunan yang awalnya berkibat pada production cenetered development mengalami pergeseran smenjadi people centered development.  Memberikan keterbukaan kepada masyarakat untuk turut dalam proses pembangunan. Sistem nilai, norma, dan interaksi sosial menjadi modal pembangunan yang kemudian diintegrasikan dalam setiap kegiatan pembangunan. Pergeseran paradigma pembangunan memberikan pandangan bahwa partisipasi masyarakat dibutuhkan dalam pembangunan karena sebelum pemangku kebijakan memberikan keputusannya maka semua pihak berhak untuk mengkritisi dan mengevaluasi serta mengusulkan terlebih dahulu tentang rencana pembangunan yang akan diimplementasikan.

Menurut Ach. Wazir Ws., et al. (1999: 29) partisipasi bisa diartikan sebagai keterlibatan seseorang secara sadar ke dalam interaksi sosial dalam situasi tertentu. Dengan pengertian itu, seseorang bisa berpartisipasi bila ia menemukan dirinya dengan atau dalam kelompok, melalui berbagai proses berbagi dengan orang lain dalam hal nilai, tradisi, perasaan, kesetiaan, kepatuhan dan tanggungjawab bersama. Sedangkan partisipasi masyarakat menurut Isbandi (2007: 27) adalah keikutsertaan masyarakat dalam proses pengidentifikasian masalah dan potensi yang ada di masyarakat, pemilihan dan pengambilan keputusan tentang alternatif solusi untuk menangani masalah, pelaksanaan upaya mengatasi masalah, dan keterlibatan masyarakat dalam proses mengevaluasi perubahan yang terjadi. Dalam Conyers (1991 : 154) dewasa ini partsipasi masyarakat mempunyai sifat yang sangat penting karena :

1.     Partisipasi masyarakat merupakan suatu alat guna memperoleh informasi mengenai kondisi, kebutuhan dan sikap masayrakat setempat yang tanpa kehadirannya, program pembangunan proyek-proyek akan gagal.

2.     Masyarakat akan lebih mempercayai proyek pembangunan jika merasa dilibatkan dalam proses, persiapan dan perncanaanya, karena mereka akan lebih mengetahui seluk beluk proyek tersebut dan akan mempunyai rasa memiliki terhadap proyek yang berjalan.

Di banyak negara timbul anggapan bahwa partisipasi masyarakat merupakan suatu hak demokrasi bila masyarakat dilibatkan dalam pembangunan masyarakat mereka sendiri. Kondisi yang memungkinkan dilakukannya perencanaan parstipastif dalam proses perencanaan akan meliputi :

1.     Survai dan konsultasi lokal; Mengunjungi lokasi proyek dan memperoleh informasi dari tangan pertama yang berkaitan dengan kondisi sosial masyarakat setempat dengan menggunakan wawancara dengan penduduk, menyelenggrakan pertemuan-pertemuan dan lain sebagianya.

2.     Penggunaan staf yang terampil; Berperan sebagai perantara antara masayrakat setempat dan pejabat di tingkat regional dan nasional, maka peran petugas dapat dijadikan sarana guna memperoleh partsipasi masyarakat dalam perencanaan.

3.     Perencanaan yang bersifat desentralisasi; Wakil badan perencanaan diintegrasikan ke dalam proses perencanaan lokal akan lebih relevan terhadap kebutuhan setempat serta diimplentasikan dengan sumber-sumber daya atau dana yang ada di daerah tersebut.

4.     Pemerintah daerah; Pemerintah daerah mempunyai fungsi sebagai pendidik bagi demokrasi dan memberikan kepastian bahwa kebijaksanaan pemerintah akan selalu ditaati dan dilaksanakan.

5.     Pembangunan masyarakat (community develompent); Usaha guna mengembangkan dan menaikkan kualitas hidup suatu masurakat dengan menerima masukan atau stimulan  dari luar  ke dalam lingkungan suatu masyarakat.

Beberapa tahun terakhir, sebuah lembaga memperkenalkan pendekatan partisipatif  dalam perencanaan proyek pembangunan yang bertujuan membimbing pemikiran kolektif dan memastikan bahwa intervensi yang relevan atas dasar kebutuhan yang dirasakan sesuai dengan kapasitas lokal. Dalam Levefre, et.al. (2000 : 1) mengenalkan suatu model pendekatan dengan apa yang disebut Comprehensive Participatory Plannning and Evaluation (CPPE). Dalam pendekatan tersebut memperkenalkan tahapan atau proses dari perencanaan pasrtipatif yang meliputi :

1.     Penilaian Permasalahan;

Mendapatkan informasi tentang kebutuhan dan bentuk-bentuk permsalahan yang dihadapi masyarakat yang kemudian diperoleh bagian yang paling priortias, proses ini dilakukan dengan pendekatan causal mode

2.     Identifikasi dan seleksi intervensi;

Setelah menyelesaikan causal model  dilanjutkan dengan mengidentifikasi tindakan yang paling tepat untuk mengambil keptusan dalam memecahkan permasalahan, proses ini dilakukan dengan metode ranking table

3.     Pengaturan sistem monitoring dan evaluasi;

Sistem Monitoring dan Evaluasi merupakan alat manajemen yang penting, desain dilakukan sebelum pelaksanaan proyek dengan mempertimbangkan waktu evaluasi

4.     Penyusunan Proposal;

Merupakan tahapan akhir dari proses CPPE yang sangat mempengaruhi proses implementasi di lapangan

Pada awal Desember 1995 pendekatan CPPE telah diujicobakan dalam “Proyek Perencanaan-The Socio Health Project” di Kanem, Chad Afrika. Dalam pelaksanaan CPPE dilakukan lokakarya sebagai bagian untuk memperkenalkan pedekatan tersebut. Keuntungan dari pedekatan CPPE untuk tujuan perencanaan di wilayah tersebut adalah :

1.     Menghasilkan banyak ide untuk desain kegiatan

2.     Memperbolehkan identifikasi faktor-faktor potitif dan negatif yang mempengaruhi proyek

3.     Mengidentifikasi kebutuhan prioritas yang dirasakan masyarakat

4.     Menghasilkan konsesus dengan pringkat prioritas

5.     Pertukaran informasi

6.     Memperkuat tingkat keberlanjutan proyek di masa depan

7.     Memperjelas staf langangan tentang tugas dan kapasitas mereka

8.     Memberikan keterbukaan kepada masyarakat secara penuh.

Jadi pada dasarnya perencanaan partisipatif merupakan sebuah model atau pendekatan yang mengedepankan masyarkat sebagai aktor pembangunan. Masyrakat memegang peranan penting dalam proses perencanaan, pembangunan dan penngendalian. Proses perencanaan pasrtipatif dilakukan dengan mengidentifikasi keinginan dan kondisi masyarakat secara mendasar. Kemudian diakomodir dan menetapkan bentuk pembangunan prioritas sesuai dengan keinginan mereka. Kunci dari keberlanjutan perencanaan partisipatif adalah melibatkan tenaga-tenaga profesional yang mengerti masyarkat sebagai “penyambung lidah” antara masyrakat dan penentu kebijakan yang berpihak pada publik, masyarakat merasa memiliki program tersebut dan sampai pada proses implementasinya pun semua pihak terlibat aktif dalam melakukan monitoring dan evaluasi.

Jadi  perencanaan partisipatif merupakan karakter nyata dari paradigma pembangunan yang saat ini telah mengalami pergeseran dari yang berorientasi produksi menjadi berorientasi pada manusia. Perencanaan partisipatif menjadi sebuah harapan baru untuk meningkatkan kesejahteraan masyrakat dengan bentuk pelibatan atau partisipatif, dengan pergeseran paradigma maka pembangunan akan diharapkan lebih maksimal nantinya.