KONSEP PEMBANGUNAN MENUJU KOTA HIJAU (GREEN
CITY )
SUPRIYANTO
1. TEORI
MAKRO PERENCANAAN
Suatu
perencanaan bagaimanapun kompleksnya tanpa arti sosial tak akan bisa
dilaksanakan apalagi ditingkatkan mutunya.
Karena itu diperlukan kajian sosial yang sangat mendalam sebelum ada
keputusan bersama masyarakat. Perencanaan kota harus mampu memerankan diri
sebagai suatu alat yang dapat menyelesaikan berbagai permasalahan perkotaan
secara komprehensif. Perencanaan kota secara menyeluruh tak langsung diterapkan
melalui perangkat hukum yang hanya dipakai sebagai penunjang.
Banyak
paket pembangunan kota di Indonesia mulai menciptakan “pulau-pulau pertahanan”
(defended islands)
yang dibentuk melalui sistem pengkavlingan. Antar kavling tidak dapat diakses
secara fisikal. Ia menjadi pulau - pulau tersendiri yang hanya bisa dicapai
setelah keluar ke jalan besar dan berputar balik. Selain memberi beban
transportasi pada jalan, lingkungan pedestrian yang menerus untuk merangkai
kawasan finansial dan perkantoran
menjadi sebuah impian yang amat sulit diciptakan. Dalam hal ini perlunya
penghilangan sistem kavling.
PENGHIJAUAN KEMBALI LINGKUNGAN
PERKOTAAN
Kecenderungan
yang terjadi pada kota-kota dunia sampai saat ini adalah menata kembali kotanya
untuk dapat lebih ke arah keseimbangan antara daerah ’hijau’ dengan ’non
hijau’, agar tercapai lingkungan perkotaan yang ’layak huni’, yaitu kondisi
kehidupan yang sehat, nyaman dan terus berkelanjutan.
Kondisi
yang sering terjadi di lapangan secara langsung maupun tidak menunjukkan bahwa
lahan-lahan yang semula berupa ’zona hijau’ adalah yang paling banyak
dikorbankan untuk memenuhi kebutuhan hidup di kota, karena penilaian sebagian
besar masyarakat termasuk para pengelola kota ruang terbuka (hijau maupun
tidak) ini ’tidaklah ada manfaatnya’, hanya sebagai tempat hidup vektor
penyakit, tempat dimana para pengemis dan gelandangan hidup, dan seterusnya.
Hukum pun menjadi sulit diterapkan, pada ruang-ruang terbuka yang cukup
berbahaya, seperti bantaran sungai dan pantai, jalur kereta api bahkan di bawah
saluran kawat listrik tegangan tinggi (SUTET) penuh dengan bangunan permukiman
dari yang mewah sampai yang seadanya dan kumuh.
Akibat
langsung dari ketidakseimbangan antara lingkungan terbangun (binaan) dengan
lingkungan perlindungan (alam) menyebabkan penurunan mutu lingkungan kota (environmental degradation). Tentu saja
kesehatan lingkungan juga tidak bisa dijaga seoptimal mungkin, berbagai
penyakit akibat bakteri e-coli (berasal dari buangan manusia), seperti tipus,
disentri dan diare sudah biasa terjadi sehari-hari, demikian pula penyakit yang
penularannya berasal dari media air (sungai) tanah maupun udara telah banyak
diuraikan di berbagai media (cetak maupun elektronik). Penyakit Demam Berdarah
Dengue (DBD) akibat gigitan nyamuk aedes agepti serta malaria dan polio sudah
merebak ke mana-mana. Masih banyak lagi jenis penyakit yang kemudian timbul
berantai akibat degradasi lingkungan ini, termasuk akibat kongesti
(menumpuknya) kendaraan bermotor di jalanan umum.
Profil
demografi sebagian besar kota-kota di Indonesia mengikuti pula pola bio
geografi alami lingkungan kepulauan tropis, yaitu berkembang dari muara-muara
sungai dan rawan banjir, sebab letaknya yang relatif rendah, bahkan berada di
bawah permukaan air laut pasang (Semarang, Jakarta, dan Surabaya) dan panas
akibat teriknya sinar matahari sepanjang tahun.
Untuk
mencapai lingkungan perkotaan yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan,
diperlukan Penataan Ruang Kota-kota di seluruh Indonesia yang sejauh mungkin
harus disesuaikan dengan kondisi bio-geografi lingkungan alaminya. Artinya
sedapat mungkin ’menyesuaikan diri’ dengan alam sekitar, apabila tidak ingin
menuai bencana. Kebijakan penataan ruang harus menerapkan keseimbangan antara
ruang binaan dan ruang alam, sehingga proses asimilasi dan metabolisme alami
dalam lingkungan perkotaan tetap bisa berlangsung (secara ’alami’) pula, dengan
tetap memperhatikan peningkatan bidang ekonomi (economical advantage),
menyediakan ruang-ruang terbuka (RT) hijau terutama di segala penjuru kota,
yang dijalin dalam suatu sistem ’Metropolitan Tropical Park’
dan dapat ’mencapai’ seluruh sudut kota terutama di sekitar pemukiman.
Kota-kota
di Indonesia, khusus yang terletak di tepian badan air, hendaknya segera menata
secara komprehensif kembali permukiman dan peruntukan di sepanjang badan air
tersebut, melalui restorasi tepiannya, relokasi pemukim melalui pembangunan ke
atas, memanfaatkan sungai dalam kota sebagai salah satu moda transportasi untuk
mengurangi kepadatan lalu-lintas di darat (terestrial).
Upaya pembersihan air dari berbagai sedimen dan zat pencemar, menyediakan sumur
resapan (recharge well)
’retention basin’ atau kolam penampung limpasan air hujan, membantu pencegahan
banjir dan terbuangnya sumber daya air potensial langsung ke perairan laut.
Banyaknya kejadian kebakaran, akibat amat padatnya permukiman mengharuskan
penataan ruang dan bila memungkinkan menyediakan kembali penyangga, berupa
jajaran tanaman tahan kebakaran (’ilalar api’), atau ruang kosong (dikenal
dengan ’brand gang’),
serta sosialisasi perilaku ’ramah lingkungan’ kepada seluruh lapisan
masyarakat, untuk mengelola limbah rumah tangga masing-masing secara benar.
2.
ALUR PEMIKIRAN DALAM
MEWUJUDKAN RTH SEBAGAI UNSUR UTAMA PEMBENTUK KOTA TAMAN
RTH
(Ruang Terbuka Hijau) kota adalah sepenggal alam yang masih tersisa atau
sengaja disisakan guna mengimbangi lingkungan buatan (kota) baik yang sengaja
dirancang dan direncanakan melalui kreativitas arsitektur lansekap maupun
karena ’warisan’ wajah alami yang sengaja dibiarkan sedemikian agar kita semua
suatu saat masih memperoleh kesempatan untuk dapat menikmatinya, langsung
maupun tidak.
Fungsi
RTH kota yang ditata secara estetis fungsional dapat digolongkan sesuai
kegunaannya sebagai pembatas/pengaman; kawasan konservasi terletak antara dua
wilayah jalur lalu lintas dan kereta api, sempadan sungai, listrik tegangan
tinggi, dan hutan kota; kawasan rekreasi aktif: lapangan olahraga atau taman
bermain; kawasan rekreasi pasif taman relaksasi dan kawasan produktif pertanian
kota, pekarangan/halaman rumah; dan lahan yang sengaja disisihkan untuk
kegunaan khusus atau lahan cadangan.
Sejak
diterbitkannya Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 14, tentang Pengelolaan RTH
Kota, tahun 1988, yang tak kunjung diikuti oleh semacam pedoman teknis dan atau
pedoman pelaksanaan yang lebih rinci. Berkenaan pula dengan berbagai upaya
sosialisasi dan peningkatan kesadaran masyarakat pada awalnya (sejak 1965-an)
akan betapa pentingnya eksistensi RTH mengingat fungsi utamanya bagi
keberlanjutan peri-kehidupan warga kota, maka berbagai program pelestarian
fungsi lingkungan perkotaan berupa program-program penghargaan kebersihan
lingkungan kota dimana termasuk pula pentingnya penataan RTH, semacam taman
lingkungan, taman kota, dan sebagainya adalah untuk kemaslahatan hidup warga
itu sendiri.
Berbagai
media sosialisasi RTH kota telah lama dilaksanakan, baik yang ’resmi’ oleh
pemerintah, maupun oleh lembaga swadaya masyarakat (LSM) terkait, selama lebih
dari tiga dekade (sejak 1965) akhirnya semakin meningkatkan kepedulian
pengelola dan warga kotanya sendiri untuk mendorong dan mendukung keperi-adaan
RTH betapapun kecilnya, bahwa RTH perlu ada di antara struktur bangunan (hutan)
beton sebagai pelunak dan penyejuk lingkungan.
Permasalahan
degradasi lingkungan hidup (LH) perkotaan, digambarkan dari semakin mewabahnya
penyakit-penyakit akibat kualitas LH yang juga semakin memburuk bahkan sulit
diatasi, akibat tak adanya ruang bagi penampung buangan kegiatan manusia baik
berbentuk cairan maupun padatan, yang semakin menumpuk di mana-mana dan tentu
saja subur sebagai media pertumbuhan penyakit akibat pencemaran lingkungan
ini.
Pencemaran
berbagai media lingkungan, apakah itu badan air, tanah ataupun udara telah
terjadi secara nyata, sedangkan Undang-undang No. 24, Tahun 1992 tentang
Penataan Ruang, telah mengatur bahwa hakekatnya ruang terbagi kedalam dua
kategori, yaitu berupa kawasan budidaya atau terbangun, dan kawasan lindung
(alami, konservasi). Akibatnya telah terjadi degradasi kualitas lingkungan air,
udara dan tanah di hampir seluruh wilayah kota.
Berbagai
kondisi LH yang negatif tersebut, memacu kejadian kerusakan LH kota menjadi
berantai, kait mengkait. Pada kawasan permukiman kota tepi air, masalah klasik
adalah bencana banjir, air bah, atau terjadinya kerusakan dan pencemaran
pesisir pantai bila terjadi gelombang pasang yang dahsyat (semacam tsunami,
akibat gempa bumi tektonik jauh dari dasar laut). Adanya ’ROB’ atau genangan
air laut ke arah darat yang tentunya membawa kerusakan akibat air asin, atau
intrusi air laut yang mengisi kantong-kantong air tanah (aquifer). Pada kota-kota di daerah lereng
pegunungan terjadi tanah longsor dan juga banjir (lumpur) akibat tak adanya
tanaman yang bisa mengikat atau menahan air hujan yang terakumulasi, apalagi
kalau debit air hujan tinggi, dan seterusnya.
Upaya-upaya
pelestarian fungsi lingkungan dengan menyisihkan sebagian ruang kota, terutama
di wilayah-wilayah yang rawan bencana, harus segera ditetapkan. Artinya
ruangruang yang rawan tersebut BUKAN diproyeksi untuk permukiman, seperti
tepian badan air (sungai, danau/dam atau laut), atau mendirikan bangunan pada
lereng yang relatif tajam.
Ruang
untuk menampung kegiatan konservasi LH-kota harus dikaitkan dengan RIK, Rencana
Umum Tata Ruang (RUTR) Kota, sampai ke Rencana Bagian Wilayah Kota (RBWK)
sampai ke kawasan-kawasan kelurahan atau dusun.
Perlu
ada pengertian bagi seluruh warga penghuni kota, bahwa terdapat hubungan sangat
strategis antara Pembangunan Kota dan Perencanaan RTH-Kota. Kaidah-kaidah
pembangunan kota-kota layak huni (Eco-cities)
harus terus disebar-luaskan. Bagaimana membangun: ”Kota (Taman) yang Sehat”,
telah dituangkan kedalam strategi pembangunan secara menyeluruh dalam target
waktu yang tertentu pula, sebab akibat dari perkembangan kota yang baik atau
buruk perlu diketahui seluruh warga kota, terutama para pengelola kota.
Pola
konsepsi hijau, dimana sebaiknya jenis atau tipe RTH itu harus ditempatkan,
serta ketergantungan pada pentingnya pemilihan jenis tanaman pembentuknya
diuraikan dalam pemilihan beberapa jenis tanaman contoh serta fungsi-fungsi
khusus berbagai jenis tanaman pembentuk RTH tersebut. Perkembangan pengelolaan
RTH, serta hubungannya satu sama lain diterangkan kedalam bab-bab ’anatomi’
kota sebagaimana sesosok tubuh (badan) manusia, yang juga terdiri dari berbagai
anggota badan seperti kaki, tangan, dan yang penting agar ’tetap hidup’ maka
kota juga mempunyai alat bernapas seperti paru-paru dan jantung, kemudian
’usus’ dengan bagian-bagiannya, sebagai alat-alat pencerna metabolisme kota
yang ’hidup’ itu. Berbagai skala kebutuhan RTH hendaknya disesuaikan dengan
standarstandar pengelolaan RTH kota sesuai dengan fungsinya serta pendekatan
partisipatif yang harus dilakukan terus-menerus.
Membangun
dan mengelola Kota Taman Tropis, termasuk persebaran serta sifat dan
tipologinya, hendaknya mengikuti pula kaidah-kaidah dasar pengelolaan LH, dalam
sistem jaringan perencanaan arsitektur lansekap bagi RTH kota umumnya termasuk
juga apa yang disebut kota-kota metropolitan (Metropolitan Park System).
Selayaknya
disesuaikan pula dengan iklim setempat dan kekayaan SDA-tropis Indonesia yang
sangat beragam dari barat, kota Sabang di propinsi Nangroe Aceh Darussalam,
sampai kota Merauke di ujung timur Irian Barat bagian timur, dimana
masing-masing kota tersebut perlu berusaha untuk mempertahankan nilai-nilai
ethno-bio-geografi lingkungan lokalnya, misalnya melalui pengkayaan jenis
pengisi RTH serta kegiatan-kegiatan yang sesuai dengan peruntukkannya.
Cita-cita
untuk mencapai Lingkungan Kota Taman Tropis yang aman, nyaman, produktif dan
berkelanjutan, dengan berbagai kebhinekaan namun menyatu dalam Negara Kepulauan
Republik Indonesia. Gray (1981, dalam makalahnya : ”Responding to Change in
A Park System”), mengatakan bahwa sistem ruang
terbuka di kota Canberra, ibukota Australia sengaja direncanakan dan dirancang
sedemikian rupa sehingga memberi peluang sefleksibel mungkin, apabila suatu
saat dibutuhkan perubahan pemanfaatn ruang.
3. RTH
KOTA DAN UPAYA PENGENDALIAN PENCEMARAN AIR, BANJIR DAN KEKERINGAN
Pembangunan
kota yang tidak mempertimbangkan pengelolaan lingkungan secara komprehensif
telah terbukti mengancam kelangsungan hidup kota dan warga kota. Fenomena
hubungan antar manfaat RTH kota terhadap pengendalian banjir merupakan salah
satu upaya pengendalian kerusakan dan pencemaran dalam bidang pengelolaan
lingkungan hidup kota.
Panjang
garis pantai wilayah pesisir nusantara diperkirakan mencapai 81.000 km atau
kedua terpanjang di dunia setelah Canada, sesuai PP No. 47/1987 tentang Rencana
Tata Ruang dan Wilayah Nasional mengenai usulan 516 kota-kota strategis di
Indonesia, di mana telah dibangun 22 buah Ibukota Propinsi (kota besar) dari
216 kota yang terletak di tepian perairan, termasuk tepian sungai dan danau
yang umum disebut Waterfront City.
Banjir
adalah suatu fenomena alam, bila curah hujan telah melampaui kapasitas daya
tampung lingkungan, alami maupun buatan, seperti saluran drainase, dan bentuk
penampungan badan air lain, seperti sungai, kanal, danau, situ, rawa, daerah
resapan air. Sebaliknya kekeringan akan terjadi jika tak ada atau kurang
pasokan (recharge)
air secara berkala sebagai bagian alami siklus hidrologi yang seharusnya dapat
tetap berlangsung.
Pada
jenis tanah dengan permeabilitas rendah, hanya sebagian kecil air saja yang
meresap, sebagian besar merupakan limpasan air (surface runoff).
Faktor geomorfologi sangat berkaitan dengan keadaan lansekap kota. Pada badan
air dikenal morfologi yang terdiri dari badan air itu sendiri, tanggul alam
(buatan), bantaran sempadan air, dan meluas ke luar disebut bantaran banjir,
yang seringkali dipenuhi oleh perumahan liar.
Hutan
diketahui hanya mempunyai koefisien limpasan relatif kecil (0,01-0,1), jadi
hutan tidak mencegah banjir, namun hanya dapat mengurangi resiko terhadap
banjir banding dan penyaring zat pencemar udara.
Faktor
perilaku negatif dalam pembangunan wilayah banjir seringkali menganggap sungai,
pantai, danau, waduk atau badan air lain sebagai tempat pembuangan sampah yang
sangat berpengaruh terhadap peningkatan bencana banjir. Badan air menyempit
akibat tumpukan limbah padat yang sulit terurai. Daerah hulu seharusnya
merupakan wilayah konservasi, karena sangat potensial meningkatkan sedimentasi
atau pendangkalan sungai dan badan air lain. RTH termasuk wilayah yang positif
meresapkan air hujan dengan toleransi tertentu, khususnya di wilayah
perkotaan.
4. MEMBANGUN
KOTA YANG BERSIH, AMAN, NYAMAN, DAN SEHAT
Pembangunan
Kabupaten dan Kota yang sehat merupakan upaya strategik di era desentralisasi
atau otonomi daerah. Pendekatan ini dilaksanakan untuk mendorong masyarakat
sebagai pelaku utama dalam mewujudkan peningkatan dan perbaikan kualitas
lingkungan fisik, sosial dan budaya secara berkesinambungan, sehingga mampu
mengatasi berbagai masalah lingkungan dan memberikan dampak positif terhadap
kesehatan masyarakat.
Sesuai
pengaturan dalam UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 25 Tahun 1999, tiap-tiap
wilayah mempunyai kesempatan yang sangat luas untuk mengembangkan kualitas
lingkungan fisik, sosial dan budaya sesuai dengan masalah dan potensi yang ada
di kabupaten dan kota, sehingga tercipta keseimbangan pembangunan baik di kota
maupun kabupaten, sehingga sekaligus akan dapat mengurangi arus
urbanisasi.
Setiap
warga negara berhak mendapat kesehatan dan kesejahteraan sosial, dan hidup
dalam lingkungan fisik, sosial dan budaya yang sehat, serta mendapatkan
kesempatan untuk meningkatkan ekonominya, di mana mereka bertempat tinggal dan
mencari kehidupan.
Perilaku
masyarakat telah proaktif untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah
resiko terjadinya penyakit, melindungi diri dari ancaman penyakit, serta
berpartisipasi aktif dalam gerakan kesehatan masyarakat. Perwujudan kesehatan
dan kesejahteraan masyarakat merupakan resultan dari berbagai upaya yang
dilakukan oleh masyarakat, swasta, sektor pembangunan, dan pemerintah daerah.
Sektor kesehatan tidak akan dapat meningkatkan derajat kesehatan masyarakat
tanpa keterlibatan berbagai sektor pembangunan dan masyarakat itu sendiri.
Untuk
itu perlu dipahami beberapa pengertian tentang program Kabupaten/Kota Sehat.
Kabupaten Sehat adalah suatu kondisi dari suatu wilayah yang aman, nyaman,
bersih dan sehat untuk dihuni penduduknya dengan mengoptimalkan potensi sosial
ekonomi masyarakat desa yang saling mendukung, melalui koordinasi forum
kecamatan dan difasilitasi oleh sektor terkait, serta sinkron dengan
perencanaan masing-masing desa.
Kota
Sehat adalah suatu kondisi dari suatu kota yang aman, nyaman, bersih, dan sehat
untuk dihuni penduduknya dengan mengoptimalkan potensi sosial ekonomi
masyarakat melalui pemberdayaan forum masyarakat, difasilitasi oleh sektor
terkait dan sinkron dengan perencanaan kota.
Agar
dapat tercipta kota yang bersih, aman, nyaman, dan sehat, diperlukan usaha dari
setiap individu anggota masyarakat dan semua pihak terkait (stakeholders) dalam mewujudkannya.
Pencapaian Kabupaten/Kota Sehat merupakan suatu proses yang berjalan
terus-menerus untuk menciptakan dan meningkatkan kualitas lingkungan, baik
fisik, sosial dan budaya, mengembangkan ekonomi masyarakat dengan cara
memberdayakan mereka agar saling mendukung dalam menerapkan fungsi-fungsi
kehidupan untuk membangun potensi maksimal suatu kota.
Untuk
mencapai ’Kota Sehat’, keseimbangan untuk mengoptimalkan potensi yang dimiliki
oleh setiap Kabupaten/Kota perlu dijaga. Setiap warga mempunyai hak sekaligus
kewajiban dalam pemenuhan kebutuhannya, secara jasmani mapun rohani, di mana
salah satunya adalah hak untuk menikmati kenyamanan lingkungan hidup tropis
perkotaan yang sejuk, nyaman, teduh, dan sehat. Agar dapat terwujud, diperlukan
perencanaan tata kota yang baik, sehingga terdapat keseimbangan antara ruang
terbangun dan tidak terbangun. Ruang tidak terbangun (RTH) merupakan wilayah
yang amat potensial dan dapat dikembangkan sebagai kawasan hijau kota, jua
sebagai tempat pemenuhan kebutuhan masyarakat akan sarana rekreatif dan
estetika lingkungan, selain sebagai kawasan penyangga ekosistem perkotaan.
MODEL KABUPATEN DAN KOTA SEHAT
Menyongsong
terwujudnya Kota-kota yang sehat di Indonesia, penerapan pembangunan berwawasan
kesehatan perlu diintegrasikan dan disinkronkan dengan berbagai program
pemerintah (sektor) dan masyarakat, melalui pendekatan Kabupaten/Kota Sehat.
Model
Kabupaten/Kota Sehat dapat dikelompokan atas beberapa tatanan, sebagai Kawasan
Permukiman
Sehat, Kawasan Industri dan Perkantoran Sehat, Kawasan Pariwisata Sehat,
Kawasan Pertambangan Sehat, Kawasan Kehutanan yang Sehat, Prasarana Umum
Perkotaan Sehat, Budaya dan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat, Kehidupan Sosial
yang Sehat, dan Ketersedian Pangan dan Gizi.
Sebagai
contoh, salah satu bidang kegiatan dalam prasarana umum Kota Sehat adalah
pengelolaan RTH di bidang pertamanan dan hutan kota yang dicirikan oleh
beberapa indikator, yaitu tersedianya taman-taman kota, adanya pengaturan
pemeliharaan hutan kota, penanaman pohon, dan pengendalian hutan yang tidak
menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan, dan lain-lain.
Pemilihan
kawasan kegiatan sebaiknya dikaitkan dengan potensi ekonomi sesuai dengan
semangat otonomi daerah, terutama di dalam peningkatan pendapatan asli daerah
(PAD) dan peningkatan pendapatan stakeholder, seperti kawasan pariwisata,
industri dan perkantoran, pertanian dan kehutanan, pertambangan, lingkungan
permukiman, serta lingkungan pesisir pantai.
Kawasan
yang menjadi pilihan masyarakat tersebut merupakan titik masuk (entry point) masuknya program
kesehatan dan sektor lain. Salah satu contohnya adalah sektor Ruang Terbuka
Hijau dan Lingkungan Hidup.
Dengan
semakin luasnya permukaan lahan dan ruang kota berupa perkerasan, maka udara
kota tersebut menjadi semakin tidak nyaman, panas, buruk, kotor, dan tidak
menarik lagi, sehingga ekologi perkotaan harus didasarkan terutama pada tujuan
kesehatan dan kesejahteraan penduduk kota.
Keberadaan
hutan kota sebagai salah satu bagian RTH di kawasan perkotaan, menjadi semakin
penting akibat tekanan kebutuhan lahan komersial di perkotaan, meningkatnya
suhu udara, dan semakin tumbuhnya kesadaran masyarakat akan lingkungan serta
ruang-ruang publik di perkotaan. Paradigma kota sehat dapat menjadi pilihan
kontekstual untuk pembangunan hutan kota di Indonesia.
Pada
area pinggiran kota, dengan jarak 15-20 kilometer dari pusat kota, pengembangan
pembangunan kota baru dimulai. Tetapi pada tahun 1960-an, lalu-lintas kendaraan
pada area di tengah-tengah kota telah meningkat sedemikian rupa sehingga telah
membahayakan. Maka dilakukanlah rehabilitasi jalan dan sarana lain yang satu
sama lain yang bagai ‘lingkaran setan’, merupakan permasalahan yang tak ada
putus-putusnya.
Hal
ini menyebabkan kota-kota tetap selalu tertinggal dalam menyelesaikan masalah,
yang juga selalu meningkat. Pada area pantai, dibangun industri-industri baru.
Kemudian timbul masalah pencemaran lingkungan yang terkenal, antara lain dengan
kasus Minimata dan Itaiitai, akibat akumulasi air raksa pada tubuh manusia,
yang merusak sistem syaraf.
Seperti
telah diketahui, ekspansi dan pembangunan kota serta permasalahan yang melekat,
selalu teralihkan (tertutup) oleh permasalahan perumahan, lingkungan,
lalu-lintas, dan lainlain yang harus segera diatasi. Sehingga seolah-olah
masalah perencanaan, pelaksanaan, dan pemeliharaan RTH tidak atau kurang
mendapat perhatian, bahkan terjadi pengalihan fungsi RTH. Meski sebenarnya
masyarakat kota tidak menolak perlunya RTH, tapi seolaholah tak berdaya
menghadapi tekanan lainnya.
PENGELOLAAN KOTA TAMAN TROPIS
Belajar
dari contoh-contoh pengelolaan RTH, terutama kota-kota tropis yang baik, memang
menguntungkan asalkan tidak meniru mentah-mentah, sehingga menimbulkan
keseragaman yang membosankan dan menurunkan nilai tinggi kelangkaan sebuah
wujud lansekap kota.
Terjadinya
krisis ekonomi dan peningkatan pengangguran yang melanda Indonesia telah
menimbulkan okupasi besar-besaran terhadap RTH kota, baik untuk tempat
berdagang atau bercocok tanam pada ‘lahan tidur’. Dari pengamatan pertanian
perkotaan tak terstruktur terhadap kegiatan ini, diketahui bahwa secara
langsung kegiatan ini dapat menyelamatkan kehidupan beberapa petani kota
dadakan, dengan bentuk organisasi pengelola khusus sejak pembibitan, penanaman,
pemanenan, sampai pencarian pasar dan seluk beluk bisnis perdagangan. Namun demikian, tetap diperlukan perangkat hukum yang
mengatur kegiatan ini.
PERAN RTH KOTA
(KHUSUS HUTAN KOTA) TERHADAP KENYAMANAN LINGKUNGAN
Hijaunya kota tidak hanya menjadikan kota itu indah dan
sejuk, namun aspek kelestarian, keserasian, keselarasan, dan keseimbangan
sumberdaya alam, yang pada giliran selanjutnya akan menciptakan lingkungan kota
yang kondusif berupa kenyamanan, kesegaran, terbebasnya kota dari polusi dan
kebisingan, serta sehat dan cerdasnya warga kota.
Tujuan penyelenggaraan RTH kota, khususnya hutan kota
adalah untuk kelestarian keserasian dan keseimbangan ekosistem perkotaan yang
meliputi unsur lingkungan sosial dan budaya. Fungsi RTH kota adalah untuk
memperbaiki, menjaga iklim mikro, nilai estetika, meresapkan air, menciptakan
keseimbangan dan keserasian lingkungan fisik kota, dan mendukung pelestarian
keanekaragaman hayati Indonesia (PP No. 63 Tahun 2002).
Untuk mewujudkan keempat hal tersebut di atas, maka pada
setiap wilayah perkotaan perlu ditetapkan kawasan RTH sesuai dengan tata guna
lahan dan sektor tertentu, dalam rangka penyelenggaraan RTH kota secara
menyeluruh (Metropolitan Park System). Pengelolaan RTH kota sejak awal, yaitu dari proses
penunjukan, pembangunan, penetapan, pemeliharaan merupakan pengelolaan
menyeluruh (integratif) yang disesuaikan dengan fungsi pokok RTH kota tersebut
yaitu antara lain untuk perlindungan lingkungan kota.
RTH KOTA SEBAGAI
PENUNJANG PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN
RTH kota, khususnya pada salah satu unsur konservasi
penting dalam LH kota, yaitu RTH berupa hutan kota yang dibangun sebagai daerah
penyangga (buffer zone) kebutuhan akan air bersih, lingkungan alami, serta
pelindung flora dan fauna di perkotaan. Kota sebagai pusat aktivitas manusia
termasuk permukimannya telah terganggu kestabilan ekologisnya, di lain pihak
kebutuhan masyarakat akan lingkungan yang bersih, indah, dan nyaman serta
terbebas dari polusi semakin mendesak.
Pada kenyataannya pertumbuhan kota-kota di Indonesia
mengesankan kurang terakomodasikannya dan terintegrasinya perencanaan. Kota
seakan-akan berkembang tanpa kendali. Gedung perkantoran, perumahan, pusat
perbelanjaan, sekolah, tempat ibadah, bahkan pabrik, ‘berebut ruang’.
Masing-masing berusaha mencari lokasi yang paling strategis. Akibatnya semua
jenis bangunan berbaur dengan fungsinya sendiri-sendiri dan menyebabkan
berbagai benturan kepentingan.
Tahun 2002-2003 KLH mulai melaksanakan program kegiatan
‘Bangun Praja’ yang difokuskan pada aspek: pengelolaan sampah, RTH, fasilitas
publik, dan pengendalian kualitas air, yang bertujuan mendorong pemerintah
daerah mewujudkan kepemerintahan yang baik di bidang lingkungan hidup (Tata
Praja Lingkungan). Dengan semangat otonomi daerah, pembangunan kota menjadi
tanggungjawab pemerintah daerah, termasuk pembangunan hutan kota sebagai salah
satu upaya menciptakan wilayah perkotaan yang sehat, indah, dan nyaman. Dengan
pembangunan kota yang berwawasan kesehatan maka akan tercipta masyarakat yang
sehat, produktif, serta bahagia lahir dan batin.
Pencemaran udara merupakan salah satu permasalahan
kompleks yang timbul di lingkungan perkotaan terutama pada kota-kota
metropolitan. Tingginya tingkat pencemaran udara juga semakin dipicu oleh
peningkatan jumlah kendaraan bermotor dan industri yang menghasilkan asap,
partikel padat dan gas berbahaya lainnya.
Studi tentang pengendalian kualitas udara telah banyak
dilakukan tetapi pengkajian secara sistematis tentang hubungan fungsional
antara data hasil pemantauan dengan faktor-faktor yang berperan dalam
transformasi emisi cemaran udara dari sumbernya, belum terealisir sebagaimana
mestinya (Purnomohadi, 1995).
RTH KOTA DAN
PERENCANAAN KOTA
Di Indonesia, dulu dikenal Proyek Perkampungan MHT
(Mohammad Husni Thamrin), yang cukup berhasil dan membantu masyarakat golongan
pendapatan rendah, untuk bisa hidup dalam lingkungan yang jauh lebih bersih dan
sehat. Namun sayangnya kelanjutan proyek MHT kini tak jelas. Orientasi yang
telah berubah untuk membangun rumah susun sederhana, merupakan salah satu
penyelesaian menuju pembangunan kota yang ramah lingkungan (environmentally sound), di mana akan tersedia RTH yang relatif lebih luas dan
lega untuk sosialisasi penghuni rumah susun.
Secara tradisi sebenarnya penduduk kota mudah diatur,
asalkan mereka yakin bahwa pembangunan kota berkelanjutan itu dapat mereka
mengerti. Bahkan bagi mereka yang kebetulan mempunyai lahan luas, kemungkinan
besar akan bersedia menyumbangkan sebagian lahannya untuk kepentingan umum,
misalkan trotoar, parkir, lapangan olah-raga, dan taman kota.
Pendekatan terakhir ini mungkin dimaksudkan guna memetik
hasil dari tanaman produktif dari halaman pribadi penduduk kota, seperti
bebuahan dan sayuran, baik yang bersifat tahunan maupun yang semusim. Bila ini
dijalankan, maka sebagian besar wilayah kota akan menjadi hijau, sejuk, dan
produktif, seperti kota Singapura, kota Curitiba, Brazil dan kota Canberra,
Australia.
RTH DAN RTRW
KOTA (PENATAAN RUANG)
Krisis ekonomi yang berdampak besar terhadap lingkungan
hidup di perkotaan telah merambah ke seluruh wilayah kota tanpa terkecuali,
mulai dari kawasan padat penduduk sampai kawasan elite. Masalah sanitasi kota
di wilayah marjinal tradisional, seperti daerah perkampungan kumuh, permukiman
nelayan tradisional, krisis air bersih dan udara bersih, serta wilayah banjir
yang semakin meluas. Timbulnya penyakit (epidemi) serempak, semacam tifus,
demam berdarah, lepterospirosis, antara lain adalah akibat buruknya sanitasi
kota. Ketidakpedulian terhadap fungsi
penyeimbang lingkungan dari RTH kota secara nasional, termasuk di daerah
lansekap alami seperti taman nasional, wisata alam, hutan lindung, hutan
produksi, dan lain-lain), hingga ke daerah lansekap binaan, seperti perkebunan,
pertanian, taman kota, kebun raya, hutan kota dan jalur hijau, telah terbukti
mengakibatkan krisis lingkungan yang mengancam kelangsungan hidup warga kota
dan kota itu sendiri.
Faktor-faktor dasar pengelolaan lingkungan hidup di
wilayah perkotaan perlu mempertimbangkan keteraturan, efisiensi, keindahan,
stimulasi, kesenangan, dan pembangunan fisik lingkungan, serta pengembangan
sumberdaya manusia, sesuai daya tampung dan daya dukung lingkungan.
Hal ini dapat digambarkan melalui suatu diagram kota yang
kohesif dan komprehensif, jalur pejalan kaki dan sepeda yang manusiawi, harus
terpisah dari jalur sirkulasi kendaraan bermotor, dan lokasi tujuan yang mudah
dicapai guna pemenuhan kebutuhan sosialisasi masyarakat.
Klasifikasi dan optimalisasi penggunaan fasilitas umum,
seperti penghijauan jalur lalu-lintas dan pemanfaatan kolong jembatan jalan
layang, membentuk suatu tatanan organisasi komprehensif dan bersifat menyebar,
sehingga dimungkinkan adanya stimulan tanpa ketegangan, memuaskan, dengan
terbentuknya keserasian antara ruang dan bentuk. Suasana alami harus diciptakan
tersebar merata di seluruh kawasan kota.
Sistem perencanaan dan perancangan RTH kota yang
didasarkan pertimbangan berbagai segi, sesuai tujuan dan karakter lansekap
lokal, maka akan tercipta lingkungan kota yang sehat, nyaman, aman, dan
lestari. Faktor-faktor dasar lingkungan alami kota
harus memperhatikan antara lain:
•
Pengelolaan kualitas
udara yang amat dipengaruhi oleh jaringan transportasi pola lalulntas kota dan
RTH yang optimal dengan penanaman pohon besar-besaran, sehingga memungkinkan
terjadinya sirkulasi udara segar di antara setiap kelompok bangunan dan ketersediaan
udara bersih.
•
Pengelolaan dan
konservasi kuantitas dan kualitas sumber daya air sungai, kanal, waduk, rawa
atau kolam buatan, diatur dalam suatu sistem pengelolaan sumber air bersih,
serta disediakan penampungan khusus air limbah yang dapat diproses melalui
sistem pemurnian.
•
Pengelolaan sampah padat,
sedapat mungkin dijadikan sumber bahan mentah untuk proses produksi selanjutnya
dengan konsep tiga R, daur ulang (recycle), pakai lagi (reuse), dan kurangi
pemakaian (reduce), serta sebagai bahan organik penyubur tanah. Kawasan penyangga
di tempat penampungan sampah akhir, sebagai upaya konservasi RTH dan peredam
pencemaran udara, bau, dan limbah cair.
•
Meredam kebisingan
serendah mungkin, melalui kawasan peyangga (buffer zone), dan membangun taman
kota, jalur hijau dan taman rumah, sehingga tersedia ruang optimal untuk
meredam suara dan pencemar udara.
•
Dengan ketersediaan RTH
yang optimal, maka kehidupan yang selalu mengikuti siklus alami masih tetap
dapat berlangsung dan krisis lingkunganpun dapat diminimalkan.
•
Pengembangan dan
konservasi RTH sebagai fasilitas umum, menjamin peningkatan keselamatan umum
jalur pedestrian dan sepeda, penataan lokasi pedagang kaki lima (K-5) disertai
upaya penegakkan hukum yang konsisten.
Perencanaan tata ruang wilayah perkotaan berperan sangat
penting dalam pembentukan ruang-ruang publik terutama RTH di perkotaan.
Gambar. Sistem Perencanaan Tata Ruang
Perencanaan tata ruang perkotaan perkotaan seyogyanya
dimulai dengan mengidentifikasi kawasan-kawasan yang secara alami harus
diselamatkan (kawasan lindung) untuk menjamin kelestarian lingkungan, dan
kawasan-kawasan yang secara alami rentan terhadap bencana (prone to natural
hazards) seperti gempa, longsor, banjir maupun bencana alam lainnya.
Kawasan-kawasan inilah yang harus kita kembangkan sebagai ruang terbuka, baik
hijau maupun non-hijau. Dengan demikian perencanaan tata ruang harus dimulai
dengan pertanyaan dimana kita tidak boleh membangun?
Gambar. Interaksi Tata Ruang & Transportasi
Rencana tata ruang perkotaan secara ekologis dan
planologis terlebih dahulu mempertimbangkan komponen-komponen RTH maupun ruang
terbuka publik lainnya dalam pola pemanfaatan ruang kota. Secara hirarkis,
struktur pelayanan tipikal kota sebagaimana tercantum dalam Gambar di atas
dapat menggambarkan bentuk akomodasi ruang terbuka publik dalam perencanaan
tata ruang di perkotaan.
Gambar.
RTH Publik dalam Tata Ruang Kota
0 komentar:
Posting Komentar