BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pemberdayaan
sebagai proses mengembangkan, memandirikan, menswadayakan, memperkuat posisi
tawar menawar masyarakat lapisan bawah terhadap kekuatan-kekuatan penekan di
segala bidang dan sektor kehidupan (Sutoro Eko, 2002). Konsep pemberdayaan (masyarakat desa)
dapat dipahami juga dengan dua cara pandang. Pertama, pemberdayaan dimaknai
dalam konteks menempatkan posisi berdiri masyarakat. Posisi masyarakat bukanlah
obyek penerima manfaat (beneficiaries) yang tergantung pada
pemberian dari pihak luar seperti pemerintah, melainkan dalam posisi sebagai subyek
(agen atau partisipan yang bertindak) yang berbuat secara mandiri. Berbuat
secara mandiri bukan berarti lepas dari tanggungjawab negara. Pemberian layanan
publik (kesehatan, pendidikan, perumahan, transportasi dan seterusnya) kepada
masyarakat tentu merupakan tugas (kewajiban) negara secara given.
Masyarakat yang mandiri sebagai partisipan berarti terbukanya ruang dan
kapasitas mengembangkan potensi-kreasi, mengontrol lingkungan dan sumberdayanya
sendiri, menyelesaikan masalah secara mandiri, dan ikut menentukan proses
politik di ranah negara. Masyarakat ikut berpartisipasi dalam proses
pembangunan dan pemerintahan (Sutoro Eko, 2002).
Permendagri
RI Nomor 7 Tahhun 2007 tentang Kader Pemberdayaan Masyarakat, dinyatakan bahwa
pemberdayaan masyarakat adalah suatu strategi yang digunakan dalam pembangunan
masyarakat sebagai upaya untuk mewujudkan kemampuan dan kemandirian dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara (Pasal 1 , ayat (8) ). Inti
pengertian pemberdayaan masyarakat merupakan strategi untuk mewujudkan kemampuan
dan kemandirian masyarakat.
Masalah
pembangunan merupakan masalah yang kompleks. Kompleksitas itu misalnya dari
sisi manajemen berarti perlu dilakukan perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan
evaluasi. Dari sisi bidang yang yang harus dibangun juga memiliki aspek kehidupan
yang sangat luas. Aspek kehidupan itu mencakup kehidupan politik, ekonomi, sosial
dan budaya serta pertahanan dan keamanan. Dalam manajemen pemerintahan yang otoriter
yang sentralistis, dalam realitas masyarakat lebih diposisikan sebagai obyek pembangunan.
Ketika kini pemerintahan yang demokratis yang hendak dikembangkan, maka ada
perubahan posisi masyarakat yang semula lebih diposisikan sebagai obyek pembangunan
menjadi subyek pembangunan.
Memposisikan
masyarakat sebagai subyek dalam pembangunan agar bersifat efektif perlu
dicarikan berbagai alternatif strategi pemberdayaan masyarakat. Pilihan strategi yang tepat
diharapkan dapat meningkatkan kemampuan dan kemandirian masyarakat. Makalah
ini lebih memfokuskan pada paparan tawaran
berbagai strategi pemberdayaan
masyarakat.
B.
Rumusan Masalah
Lahirnya perencanaan partisipatif dilatarbelakangi karena banyaknya
kegagalan pembangunan sosial kemasyarakatan yang dijalankan oleh pemerintah.
Hal ini diakibatkan penyusunan perencanaan yang sifatnya “top-down” khususnya
yang terjadi pada era sebelum reformasi, bagaimana proses perencanaan yang
hampir seluruhnya di dominasi oleh para aparat dan pengambil kebijakan, yang
tidak mungkin dapat memahami sekian banyak permasalahan, kebutuhan serta
potensi yang dimiliki masyarakat, maupun potensi daerah/wilayah (kearifan
lokal) yang akan menjadi lokasi pembangunan/program. Memasuki era reformasi,
pemerintah dan pemerintah daerah telah menyadari betul panyebab kegagalan
pembangunan kemasyarakatan, termasuk program pemberdayaan masyarakat dimasa
lalu, sehingga belajar dari semua kegagalan tersebut, lahirlah kebijakan agar
para perencana dalam menyusun suatu perencanaan harus menempatkan diri sebagai strategi
dalam mengurangi dampak dari kegiatan partisipatif. Berdasarkan latar belakang
masalah tersebut maka fokus untuk makalah ini adalah strategi dalam menggurangi
dampak dari kegiatan partisipatif.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Pemberdayaan Masyarakat
Kata daya merupakan kata dasar dari istilah pemberdayaan yang memiliki
makna kekuatan, dan merupakan terjemahan dari kata empowerment. Berangkat dari
makna kata dasar tersebut maka kata pemberdayaan memiliki makna memberikan daya
upaya atau kekuatan kepada kelompok marjinal, kelompok yang berada pada garis
kemiskinan (ketidakberdayaan), kelompok yang tidak mampu memenuhi kebutuhan
dasar seperti makan, pakaian, rumah, pendidikan, dan kesehatan dalam kehidupan
sehari-hari mereka (Hamid, 2018). Memberikan kekuatan bagi masyarakat lemah
merupakan suatu keniscayaan bagi pemerintah, baik itu pemerintah pusat maupun
pemerintah daerah karena mereka diamanatkan oleh Undang-Undang dan ideologi
negara untuk memberdayakan masyarakat. Namun demikian ia tidak hanya menjadi
tanggung jawab pemerintah semata, ia juga membutuhkan dukungan dari berbagai
pihak utamanya masyarakt itu sendiri yang merupakan bagian dari objek sasaran
dengan cara ikut berpartisipasi aktif dalam melaksanakan berbagai program kerja
pemerintah dalam pemberdayaan (Hastuti & Setyawan, 2021).
Adapun beberapa pengertian pemberdayaan menurut para ahli adalah
1.
Pemberdayaan merupakan serangkaian kegiatan
untuk memperkuat dan mengoptimalkan keberdayaan (dalam arti kemampuan dan
keunggulan bersaing) kelompok lemah dalam masyarakat, termasuk didalamnya (Mardikanto and Soebiato, 2013).
2.
Gunawan (2009) menyatakan bahwa pemberdayaan
adalah tindakan sosial sebuah komunitas di dalam penduduk dimana ia mengorganisasikan dirinya dalam
membuat perencanaan dan tindakan kolektif agar mampu menyelesaikan persoalan
sosial atau memenui kebutuhan sosial dengan kemampuan dan sumber daya yang
dimiliki (dalam Hamid, 2018).
3.
Widjayanti (2011) mengatakan bahwa pemberdayaan
memiliki makna membangkitkan sumber daya, kesempatan, pengetahuan dan
keterampilan masyarakat untuk meningkatkan dan menentukan masa depan lebih
baik.
4.
Menurut Suharto (dalam Hamid, 2018) pemberdayaan
bertitik tekan pada kemampuan yang lemah pada diri seseorang atau kelompok,
sehingga diharapkan mampu:
a.
Memenuhi kebutuhan pokok/dasar mereka sehingga
mampu merasakan kebebasan dalam arti bebas dalam hal kelaparan, kebodohan dan
kesakitan.
b.
Meningkatkan pendapatan dan memperoleh
barang-barang dan jasa yang berkualitas sesuai kebutuhan dengan cara menjangkau
dan mengolah sumber daya produktif.
c.
Mengambil peran dalam segala kegiatan
pembangunan dan berbagai keputusan kebijakan yang mampu meningkatkan
kesejateran mereka.
Berdasarkan data hasil sensus penduduk yang dilakukan oleh Badan Pusat
Statiktik (2021) tercatat sebesar 270,20 juta jiwa atau bertambah 32,56 juta
jiwa dibandingkan SP2010, sedangkan sebaran penduduk Indonesia menurut wilayah
masih terkonsentrasi di pulau jawa sebesar 56,10% atau sebanyak 151,59 juta
jiwa. Melonjaknya angka kepadatan penduduk ini tentunya mempengaruhi
meningkatnya angka kemiskinan yang terjadi secara tidak langsung, perihal
tersebut tidak hanya terdampak pada masyarakat pedesaan yang notabene
masyarakat agraria, namun juga pada masyarakat perkotaan yang memiliki basis
sektor perkantoran dan industri. Perihal tersebut ditegas oleh Jhingan (2004)
yang menyatakan bahwa pertumbuhan penduduk yang pesat pada suatau negara
menyebabkan terjadinya ketidakberdayaan masyarakat dalam kemiskinan (dalam
Mulyaman, 2016; Shalahuddin et al., 2021). Selain melonjaknya angka pertumbuhan
penduduk, Hamid (2018) menambahkan bahwa pemicu kemiskinan yaitu 1) lapangan
pekerjaan yang belum tersedia, 2) terjadinya urbanisasi yang cukup besar, dan
3) kebijakan pembangunan daerah yang belum menjangkau kaum marginal. Adapun
Sumodiningrat (2009) menjelaskan bahwa perspektif dalam mengatasi tingginya
angka kemiskinan adalah berdasarkan prinsip-prinsip adil dan merata, partisipatif,
demokratis mekanisme pasar, tertib hukum, dan saling percaya yang menciptakan
rasa aman (dalam Hamid, 2018). Sehingga atas dasar prinsip tersebut maka pola
pendekatakan yang digunakan dalam mengatasi meningkatnya angka kemiskinan perlu
menggunakan pemberdayaan masyarakat partisipatif yang memposisikan masyarakat
binaan sebagai pelaku utama sedangkan pemerintah memposisikan diri sebagai
fasilitator dan motivator dalam pendampingan.
Pemberdayaan masyarakat adalah upaya atau proses untuk meningkatkan
kesadaran, kemauan, dan kapasitas masyarakat untuk mengenali, menangani,
memelihara, melindungi, dan meningkatkan kesejahteraannya sendiri. Pemberdayaan
masyarakat merupakan upaya non konstruktif yang memfasilitasi peningkatan
pengetahuan dan kapasitas masyarakat untuk mengidentifikasi, merencanakan dan
menyelesaikan masalah dengan memanfaatkan potensi lokal dan fasilitas yang ada,
baik dari lintas sektor instansi maupun LSM dan tokoh masyarakat. Menurut
Chamber (1995) pemberdayaan merupakan pemberdayaan ekonomi dalam rangka
membangun suatu paradigm dalam suatu pembangunan yang bersifat people centered,
participatory, empowerment and sustainable (Noor, 2011; Saptaria &
Setyawan, 2021). Dijelaskan lebih lanjut bahwasanya pemberdayaan masayarakat
tidak hanya berorientasi pada pemenuhan kebutuhan dasar mereka, namun lebih
kepada bagaimana mereka mampu mengusahakan dan memaksimalkan sumber daya yang
dimiliki agar pertumbuhan ekonomi naik dan mensejahterakan.
Dalam perkembangannya pemberdayaan masyarakat mengalami perubahan yang
cukup dinamis mengikuti perkembangan zaman, lebih lanjut Bahri (2019)
menawarkan pemberdayaan masayarakat berkelanjutan yang bertumpu pada tiga aspek
penting, yaitu inpu, proses dan output. Lebih lanjut ia menjelaskan;
1.
Aspek input
Pada aspek input ini, pemberdayaan masyarakat berkelanjutan berpijak pada
empat bentuk yaitu sumberdaya individu, sumberdaya keluarga, sumberdaya
kelompok dan sumberdaya kelembagaan
2.
Aspek proses
Pada aspek proses, terdapat empat aktivitas pada proses pemberdayaan
masyarakat berkelanjutan yaitu perubahan sikap (attitude), peningkatan
pengetahuan (knowledge), pengautan keterampilan (skill) dan pengelolaan
sumberdaya terkait.
3.
Aspek output
Pada aspek output, maka perihal yang diharapkan dalam pemberdayaan
masyarakat berkelanjutan adalah individu, keluarga, kelompok dan kelembagaan
yang berdaya.
Pada masa kini, terdapat tuntutan yang besar bagi pelaku pemberdayaan
dalam rangka mewujudkan cita-cita yang diinginkan, yakni tuntutan untuk
memiliki kemampuan yang kuat dan memadai. Mereka tidak hanya dituntut untuk
memiliki kemampuan yang kaya melainkan juga mampu untuk memiliki kemampuan
dalam merancang program pemberdayaan (Widjajanti, 2011). Widjjanti (2011)
menambahkan bahwa modal utama terlasananya program pemberdayaan tidak hanya
bergantung pada kuantitas modal manusia (human capital) namun juga pada
tingkatan kualitasnya. Karena ia memainkan peran yang sangat signifikan dan
merupakan suatu aset yang berhubungan dengan inteletualitas yang diharapkan
mampu melakukan hubungan / interaksi antarsesama secara baik, menguntungkan dan
berkelanjutan.
B.
Sejarah Pemberdayaan Masyarakat di Indonesia
Perubahan penyelenggaraan demokrasi yang terjadi pada tahun 1998
memberikan implikasi yang sangat signifikan terhadap berbagai sektor,
terutamanya pada sistem dan kekuasaan pemerintah yang semula menganut sistem
sentralistis kemudian beralih pada sistem otonomi daerah atau desentralisasi.
Perubahan tersebut tercetak dan tertulis dengan jelas dengan adanya
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian
berubah menjadi UU Nomor 32 Tahun 2004, sebagai pengganti UU Nomor 5 Tahun 1974
(Noor, 2011). Perubahan mendasar ini dengan nyata memberikan dampak yang sangat
besar pada beberapa sektor pelaku pembangunan, mulai dari pelaku, pengambilan
keputusan, perencanaan, pelaksana, pengawasan pembangunan yang masih belum siap
akan perubahan tersebut, perihal tersebut terlihat pada konteks praktek
penyelenggaraanya yang belum optimal seperti kurang kreativitas dan minimnya
partisipasi atau keterlibatan masyarakat secara kritis dan rasional (Noor,
2011).
Dengan adanya beberapa persoalan yang mengemuka dalam pelaksanaan
pemberdayaan masyarakat ini, maka pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan.
Noor (2011) merekap beberapa kebijakan pemerintah tersebut, yakni:
1.
GBHN Tahun 1999 dan UU Nomor 32 tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah. Pada GBHN Tahun 1999 tersebut dinyatakan
“mengembangkan otonomi daerah secara luas, nyata dan bertanggung jawab dalam
rangka pemberdayaan masyarakat, lembaga ekonomi, lembaga politik, lembaga
hokum, lembaga keagamaan, lembaga adat dan lembaga swadaya masyarakat serta
seluruh potensi masyarakat dalam wadah NKRI”.
2.
UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah, dinyatakan “hal-hal yang mendasar dalam undang-undang ini adalah
mendorong untuk memberdayakan masyarakat, menumbuhkembangkan prakarsa dan
kreatifitas serta meningkatkan peran serta masyarakat”.
3.
UU Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program
Pembangunan Nasional (PROPENAS) Tahun 200-2004 dan Program Pembangunan Daerah
(BAPPEDA) dinyatakan bahwa pemberdayaan masyarakat merupakan upaya meningkatkan
keberdayaan masyarakat pada sekotr ekonomi, sosial dan politik melalui
penguatan lembaga dan organisasi masyarakat setempat, penanggulan kemiskinan
dan perlindungan sosial masyarakat, peningkatan keswadayaan masyarakat.
Badan Pemberdayaan menetapkan visi, misi, kebijakan, strategi dan program
pemberdayaan masyarakat dalam rangka menterjemahkan tugas yang diemban pada
bidang pemberdayaan masyarakat.
Visi
Pemberdayaan Masyarakat adalah meningkatkan kemandirian masyarakat.
Misi Pemberdayaan Masyarakat adalah mengembangkan kemampuan dan
kemandirian serta secara bertahap masyarakat mampu membangun diri dan
lingkungannya secara mandiri, dalam arti bahwa mereka harus mampu mencapai
kemajuan sehingga bisa membangun dan memelihara kelangsungan hidup berdasarkan
kekuatannya sendiri secara berkelanjutan.
C.
Prinsip Pemberdayaan
Prinsip-prinsip pemberdayaan masyarakat yang harus diterapkan secara
bersama- sama dan berkelanjutan adalah prinsip kesetaraan, partisipatif,
keswadayaan, dan keberlanjutan. Lingkup pemberdayaan masyarakat dapat
dikategorikan berdasarkan bidang pemberdayaan masyarakat dan berdasarkan
prosesnya.
Terdapat setidaknya beberapa prinsip dalam melaksanakan pemberdayaan
masyarakat sebagai bahan acuan bagi pelaku dan masyarakat binaanya sehingga
program pemberdayaan yang dimaksud mampu menjawab kebutuhan masyarakat binaan
dan dapat berjalan dengan benar dan tepat sesuai dengan hakikat dan konsep
pemberdayaan. Adapun prinsip yang dimaksud adalah:
1.
Prinsip Partisipasi, Segala tahapan kegiatan
pemberdayaan harus melibatkan masyarakat binaan.
2.
Prinsip sustainable, Hasil dari pemberdayaan
yang didapatkan mampu dilestarikan oleh masyarakat binaan agar mampu
melanjutkan program kegiatan secara berkelanjutan.
3.
Prinsip demokratisasi, Memberikan kesempatan
kepada masyarakat binaan agar mampu menentukan jenis strategi daerah
pembangunan sesuai dengan kebutuhan kapasitas yang mereka miliki.
4.
Prinsip transparansi, Keterlibatan beberapa
pihak dan masyarakat binaan dalam keungan dilakukan secara transparan atau
terbuka agar dapat dipantau dan diawasi oleh semua pihak.
5.
Prinsip akuntabilitas, Pengelolaan keuangan
dilakukan secara terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan
6.
Prinsip desentralisasi, Prinsip ini berkehendak
untuk tidak lagi segala petunjuk dan aturan-aturan tersentralisasi pada
pemerintah, namun lebih kepada bagaimana masyarakat binaan mampu perencanaan
(planning), pembagian tugas (organizing), pelaksanaan (actuating), pengawasan
(controlling) dan evaluasi (evaluasi).
7.
Prinsip acceptable, Bantuan yang diberikan
kepada masyarakat binaan hendknya dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan kultur
sehingga dapat dikelola sebaik mungkin dan didayagunakan oleh mereka sebagai
pelaksana dan pengelola.
8.
Prinsip profitable, Mendidik masyarakat binaan
agar mampu mengelola kegiatan pemberdayaan secara ekonomis, dan bisa
mensejahterakan anggotanya dari kegiatan yang dilakukan.
9.
Prinsip replicable, Pengelolaan dana dan hasil
pelestarian dapat dikembangkan pada aspek yang lebih luas.
D.
Tujuan Pemberdayaan Masyarakat
Pemberdayaan masyarakat bisa dilakukan oleh banyak elemen:
pemerintah, perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat, pers, partai politik,
lembaga donor, aktor-aktor masyarakat sipil, atau oleh organisasi masyarakat
lokal sendiri. Birokrasi pemerintah tentu saja sangat strategis karena
mempunyai banyak keunggulan dan kekuatan yang luar biasa ketimbang unsur-unsur
lainnya: mempunyai dana, aparat yang banyak, kewenangan untuk membuat kerangka
legal, kebijakan untuk pemberian layanan publik, dan lain-lain. Proses
pemberdayaan bisa berlangsung lebih kuat, komprehensif dan berkelanjutan bila
berbagai unsur tersebut membangun kemitraan dan jaringan yang didasarkan pada
prinsip saling percaya dan menghormati (Sutoro Eko, 2002).
Dalam hal pada setiap desa telah terbentuk KPM, maka
kemitraan KPM dan pemerintahan desa perlu didorong untuk bersama-sama melakukan
pemberdayaan masyarakat. Ketika kemitraan mampu mendorong percepatan kemapanan
ekonomi masyarakat, berfungsi secara efektif pemerintahan desa (sistem politik
lokal), keteladanan pemimpim (elit lokal), dan partisipasi aktif masyarakat
(lihat Kutut Suwondo, 2005), maka kemampuan dan kemandirian masyarakat dalam
pembangunan akan dapat terwujud.
E.
Tahapan Pemberdayaan Masyarakat
Dalam melaksanakan tahapan untuk pelaksanaan partisipasi masyarakat harus
melihatnya sebagai suatu proses kegiatan yang berawal dari implementasi awal,
implementasi, dan implementasi akhir (Sastrawan Manullang, 2018). Bentuk partisipasi masyarakat dapat dilihat
dari tahapan pelaksanaan sebagai berikut:
(Manullang, 2021)
1.
Perencanaan , Pada tahapan ini partisipasi
masyarakat dapat diketahui melalui keaktifan menghadiri sosialisasi,
musyawarah, penyuluhan, dan pelatihan yang diadakan pemerintah desa. Dalam
tahap perencanaan tersebut masyarakat juga ikut menyumbang pikiran. Adapun
hasil dari pastisipasi ini, merupakan terbentuknya organisasi kepengurusan
tingkat desa.
2.
Pelaksanaan, Pada tahapan ini partisipasi
masyarakat dapat diketahui melalui keikutsertaan masyarakat dalam menciptakan
lingkungan yang bersih.
3.
Penilaian, Pada tahapan ini keterlibatan
masyarakat dalam menilai sejauh mana pelaksanaan pembangunan sesuai dengan
rencana. Juga sejauh mana hasil dari pembangunan tersebut dalam pemenuhan
kebutuhan masyarakat.
Pemberdayaan masyarakat bisa dilakukan dengan beberapa langkah. Berikut
adalah tahapan pemberdayaan masyarakat yang dikutip dari buku Pemberdayaan
Masyarakat oleh Dedeh Maryani dan Ruth Roselin E. Nainggolan (2019:13).
1.
Tahap Persiapan
Ada dua hal yang perlu dikerjakan dalam tahapan ini, yakni penyiapan
petugas tenaga pemberdayaan oleh community worker dan penyiapan lapangan.
Persiapan ini dilakukan agar pemberdayaan masyarakat dapat berlangsung dengan
lancar.
2.
Tahap Pengkajian
Tahap pengkajian atau assessment dapat dilakukan secara individual lewat
kelompok-kelompok masyarakat. Pada tahap ini, petugas mengidentifikasi masalah
keputusan dan sumber daya yang dimiliki klien. Ini dilakukan untuk menentukan
sasaran pemberdayaan yang tepat.
3.
Tahap Perencanaan Alternatif Program atau
Kegiatan
Dalam tahapan ini, petugas akan berperan sebagai exchange agent atau agen
perubahan. Masyarakat diharapkan bisa memikirkan beberapa alternatif program
berikut kelebihan dan kekurangannya. Nantinya, alternatif tersebut dipakai
untuk menentukan program yang paling efektif.
4.
Tahap Pemfomalisasi Rencana Aksi
Pada tahap pemfomalisasi, agen perubahan membantu kelompok untuk
menentukan program yang bisa mengatasi permasalahan. Petugas juga memfomalisasi
gagasan tersebut ke dalam tulisan, apabila ada kaitannya dengan pembuatan
proposal pada penyandang dana.
5.
Tahap Implementasi Program atau Kegiatan
Dalam tahap implementasi, masyarakat harus memahami maksud, tujuan dan
sasaran program untuk menghindari kendala dalam implementasi program. Mereka
juga harus bekerja sama dengan petugas.
6.
Tahap Evaluasi
Evaluasi merupakan tahap pengawasan dari warga dan petugas program
pemberdayaan. Program ini sebaiknya melibatkan warga untuk membangun komunitas
pengawasan internal dan komunikasi masyarakat yang lebih mandiri.
7.
Tahap Terminasi
Pada tahapan terakhir, proyek harus berhenti. Sebab, masyarakat yang
diberdayakan sudah mampu mengubah kondisi yang sebelumnya buruk menjadi lebih
baik. Dengan kata lain, mereka sudah bisa menjamin kehidupan layak bagi diri
sendiri dan keluarga.
F.
Strategi dan Pendekatan dalam Pemberdayaan
Masyarakat
Suatu keberhasilan berkaitan dengan penggunaan strategi.
Karena keberhasilan sebuah manajemen akan tergantung kepada strategi apa yang
digunakan. Strategi berasal dari kata “stratos” dan “agein”. Dalam bahasa
Yunani kuno stratos bermakna tentara. Sedangkan kata”agein” memiliki makna
pemimpin. Sehingga apa yang dimaksud dengan strategi yaitu adalah memimpin
tentara. Lalu ada istilah strategos yang
artinya adalah memimpin tentara tingkat atas. Jadi strategi adalah konsep
militer yang bisa diartikan sebagai seni berperang para jenderal atau suatu
rancangan yang terbaik untuk memenangkan peperangan (Suprapto, 2019).
Menurut Karl von
Clausewitz (1780-1831) sebagaimana dikutip oleh Cangara strategi dirumuskan
sebagai suatu seni menggunakan sarana pertempuran untuk mencapai tujuan perang.
ada ungkapan “to win the war, not to win
the battle” Yang dipahami dalam bahasa Indonesia” memenangkan perang, bukan
memenangkan pertempuran” (Cangara, 2017). Jadi pentingnya satu strategi adalah
memenangkan perang, sedangkan aktif adalah untuk memenangkan pertempuran.
Anderson (1968) merumuskan strategi
sebagai suatu seni yang melibatkan kemampuan
inteligensi untuk membawa semua sumber daya yang ada dalam mencapai
tujuan dengan memperoleh keuntungan yang besar dan efisien (Suprapto, 2019).
Sumber daya strategi pemberdayaan tidaklah sekedar mendapatkan hasil melainkan
juga ga ga melalui prosesnya dalam tingkat MPASI yang tinggi yang yang
berdasarkan kebutuhan dan potensi masyarakat untuk mencapai tujuan tim pemberdayaan dapat mengeksplorasi
potensi, problem dan kebutuhan masyarakat. karena banyaknya potensi dan
kebutuhan dalam satu komunitas maka tim pemberdayaan bisa merumuskan skala
prioritas yang yang dianggap sangat mendesak untuk dikembangkan. dalam menyusun
perencanaan pemberdayaan maka secara bersama-sama dirumuskanlah seperti tujuan, materi, metode alat dan
evaluasi si yang yang mengacu kepada kebutuhan. apa yang harus dibicarakan
bersama adalah memecahkan problem yang sedang dihadapi (Margolang, 2018).
Pelibatan anggota masyarakat
merupakan dalam tahap perencanaan hal ini merupakan salah satu metode
untuk mendorong mereka secara aktif terlibat dalam jam-jam berdayaan. dalam
keterlibatan tersebut mengandung ikatan emosional dalam menyukseskan agenda
pemberdayaan (Askar, 2019). dalam kegiatan sehari-hari strategi sering dimaknai
sebagai bagai tindakan tertentu atau langkah-langkah ah Yang yang dilakukan
demi tercapainya sebuah tujuan atau manfaat yang dikehendaki, oleh karena itu
itu pemahaman strategi sering merujuk pada metode, teknik atau taktik
(Shalahuddin et al., 2021).
Secara teori, strategi sering dimaknai dengan beragam
pendekatan seperti (Suprapto, 2019:122-123):
1. Strategi
Sebagai Suatu Rencana
Dalam suatu rencana, strategi diposisikan sebagai pedoman
atau au Kompas yang dijadikan dasar pelaksanaan kegiatan untuk tercapainya
tujuan atau goals yang telah ditetapkan. untuk itu dalam rumusan strategi perlu
memperhatikan unsur kekuatan kelemahan internal, peluang dan ancaman eksternal
yang yang diterapkan oleh kompetitor.
2. Strategi
Sebagai Kegiatan
Dalam suatu kegiatan,
strategi adalah wujud dari upaya-upaya setiap individu, organisasi
atau perusahaan untuk mengalahkan
kompetitor demi terwujudnya tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya.
3. Strategi
Sebagai Suatu Instrumen
Strategi sebagai suatu instrumen adalah alat yang dipakai oleh para pimpinan, organisasi/
perusahaan khususnya bagi seorang manajer utama sebagai pedoman sekaligus
sebagai pilot pelaksanaan kegiatan
4. Strategi
Sebagai Suatu Sistem
Sebagai suatu sistem, memiliki makna bencana yang terbaru
dan dan tindakantindakan yang yang menyeluruh yang difokuskan untuk
menyelesaikan tantangantantangan agar mencapai tujuan.
5. Strategi
Sebagai Pola Pikir
Strategi sebagai pola pikir diartikan sebagai suatu tindakan
yang didasari oleh pemahaman yang luas tentang kondisi pangan dan internal
dalam rentang waktu yang panjang serta keahlian dalam pengambilan keputusan
untuk memilih solusi terbaik yang yang bisa dilakukan kan dengan memaksimalkan
potensi untuk memanfaatkan peluang yang tersedia yang secara simultan menutupi kelemahan guna
menekan ancaman-ancaman.
Dari berbagai macam pengertian tentang strategi di atas
dapat diambil kesimpulan bahwa potensi merupakan suatu proses sekaligus alat
yang penting yang berkaitan dengan pengendalian dan pelaksanaan kegiatan yang
diterapkan untuk memenangkan persaingan
demi tercapainya tujuan. jadi di dalam istilah lain bahwa fungsi
strategi merupakan jembatan antara perencanaan dengan tujuan yang yang hendak
dicapai. oleh karena itu, perencanaan program
membutuhkan strategi untuk mencapai
tujuan (Sari & Setiawan, 2021).
Dalam kaitannya dengan program pemberdayaan masyarakat
agar mencapai tujuan dirumuskan
sebuah strategi sebagai berikut (Mardikanto and Soebiato, 2017):
1. Menyusun
alat pengumpulan data. dalam program ini data yang dibutuhkan kan bisa berupa
Apa hasil reset yang telah dilakukan
terdahulu, referensi yang tersedia, hasil-hasil temuan atau observasi.
2. Menyamakan
persepsi, dan komitmen untuk mendukung independensi individu, keluarga dan
masyarakat.
3. Merancang
sistem informasi, mengembangkan sistem analisis, monitoring dan evaluasi
pemberdayaan individu, keluarga dan masyarakat.
Secara keseluruhan strategi yang diterapkan dalam program
dapat juga disebut sebagai ide besar (the big idea) sebagai pendekatan yang yang dirumuskan dalam
kondisi tertentu dari posisi saat ini yang disusun berlandaskan analisis
masalah dan tujuan yang yang ditetapkan. Strategi ini kongkritnya dituangkan
dalam bentuk taktik.
Taktik dilandasi oleh
tujuan dan sasaran yang akan dibidik
dalam agenda pemberdayaan sehingga peran kreativitas dan inovatif sangat
dibutuhkan dalam membidik tujuan dan sasaran. tetapi penentuan taktik bukanlah
hal yang yang demikian rumit (Harianto et al., 2020).
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Pemberdayaan masyarakat adalah upaya atau proses untuk
meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kapasitas masyarakat untuk mengenali,
menangani, memelihara, melindungi, dan meningkatkan kesejahteraannya sendiri.
Sebagaimana yang tercantum dalam UU Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program
Pembangunan Nasional (PROPENAS) Tahun 2000-2004 dan Program Pembangunan Daerah
(BAPPEDA) dinyatakan bahwa pemberdayaan masyarakat merupakan upaya meningkatkan
keberdayaan masyarakat pada sekotr ekonomi, sosial dan politik melalui penguatan
lembaga dan organisasi masyarakat setempat, penanggulan kemiskinan dan
perlindungan sosial masyarakat, peningkatan keswadayaan masyarakat. Sebagai
kegiatan yang bersinggungan langsung dengan masyarakat dan berpusat pada
masyarakat, maka perlu adanya suatu konsep dan strategi sebagai gambaran dalam
pelaksanaan kegiatan pemberdayaan masyarakat.
Hal ini perlu dilakukan untuk memudahkan dan mensukseskan seorang
fasilitator atau pendamping dan juga masyarakat sebagai subyek dalam kegiatan
pemberdayaan.
Sebagai kegiatan yang bersinggungan dengan masyarakat,
tentunya perlu suatu konsep dan strategi untuk bisa memahami situasi dan
kondisi serta karakterisitik masyarakat.
Hal tersebut perlu dilakukan untuk meindaklanjuti problematika sosial
dan juga menangani konflik dalam komunitas. Sebagai kegiatan yang bersinggungan
dengan masyarakat, pemilihan strategi dan pendekatan dalam pemberdayaan
sangatlah diperlukan. Ada beberapa pendekatan yang bisa dipilih oleh fasilitator
sebagai suatu cara dalam melaksanakan pemberdayaan, diantaranya ; Rapid Rural
Appraisal(RRA), Participatory Rural Appraisal (PRA), Participatory Action
Research (PAR), Agro Ecosystem Analysis , Asset-Based Community Development
(ABCD), Environmental Scanning (ES), Logical Framework Approach (LFA),
Participatory Impact Monitoring (PIM), Zielobjective Orientierte Project
Planning (ZOPP), Participatory Learning And Action (PLA.
Pemilihan strategi pendekatan yang tepat, akan sangat
membantu seorang fasilitator dalam menyusun tahapan pemberdayaan, pemecahan
teknis kegiatan pemberdayaan, dan sebagai sarana guna membangun komunikasi
dalam pemberdayaan masyarakat. Agar kegiatan pemberdayaan bisa terlaksana
dengan lancar, maka tidak hanya melibatkan masyarakat dan fasilitator
pemberdayaan saja, akan tetapi juga perlu melibatkan stakeholder baik itu dari
internal maupun external. Adapun yang disebut sebagai stakeholder internal
adalah pihak pemerintah desa dan juga masyarakat tersebut. Sedangkan
stakeholder external yaitu pihak pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, para
pengusaha, dan perguruan tinggi.
Kedudukan stakeholders memiliki peran yang penting dalam
pemberdayaan masyarakat. Pemilihan stakeholder yang tepat dapat menciptakan
kesesuaian antara isu program atau pengembangan masyarakat dengan bidang
stakeholder tersebut. Akan lebih baik jika stakeholder yang terlibat juga
memiliki tujuan dan ketertarikan yang sama mengenai isu program sehingga dengan
pemilihan yang tepat dapat diketahui pihak mana saja yang akan dilibatkan dan
seberapa besar pengaruh dari stakeholder tersebut.
Jika tujuan, pandangan atau kepentingan dari stakeholder
tidak memiliki kesamaan maka proses maupun kerjasama akan lebih sulit bahkan
mengalami hambatan. Hal seperti ini dapat menimbulkan konflik yang seharusnya
dihindari. Stakeholder sebagai pihak yang memiliki wewenang dalam pengambilan
keputusan di level administratif, diharapkan faham terhadap apa yang menjadi
tanggung jawab dan ketelibatannya dalam upaya mewujudkan tujuan program
pemberdayaan masyarakat yang berkelanjutan. Sehingga setelah program berakhir,
masyarakat dan stakeholder dapat terus bersama-sama menjalankan praktik baik
yang sudah muncul.
B.
Saran
Demikian yang dapat kami paparkan mengenai materi yang
menjadi pokok bahasan dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan
kelemahannya, kerena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau
referensi yang ada hubungannya dengan judul makalah ini.
Penulis banyak berharap para pembaca memberikan kritik dan
saran yang membangun kepada penulis demi sempurnanya makalah ini dan dan
penulisan makalah di kesempatan-kesempatan berikutnya. Semoga makalah ini
berguna bagi penulis pada khususnya juga para pembaca yang budiman pada
umumnya.
Daftar Pustaka
Bito, G. S., Fredy, F., & Setyawan, W.
H. (2021). Ethnomathematics: Design of Sabuk Tradisional (Keru) Bajawa as A
Learning Media For Elementary School. ELEMENTARY:
Islamic Teacher Journal, 9(1). https://doi.org/http://dx.doi.org/10.21043/elementary.v9i1.9835
Kamus Bahasa Indonesia (2008)
PUSAT BAHASA DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL JAKARTA. Jakarta: Pusat Bahasa.
Learning Model in Higher Engineering
Education. Universal Journal of
Educational Research, 8(7),
2946–2953. https://doi.org/10.13189/ujer.2020.080723
Mardikanto, T. and Soebiato, P. (2013) Pemberdayaan Masyarakat Dalam Perspektif Kebijakan Publik.
edisi ke-2. Bandung: Alfabeta.
Noor, M. (2011)
‘Pemberdayaan Masyarakat’, Jurnal
Ilmiah CIVIS, I(2), pp. 87–99. doi: 10.31227/osf.io/weu8z.
Hamid, H. (2018) Manajemen
Pemberdayaan Masyarakat. Edited by T. S. Razak. Makassar: De La
Macca.
Hastuti, S. W. M., & Setyawan, W.
(2021). Community Service in Study Potential Technology of Education Tour and
Business Prospects of Traders in Tulungagung. Mitra Mahajana: Jurnal Pengabdian Masyarakat, 2(2), 134–144. http://www.uniflor.ac.id/e-journal/index.php/mahajana/article/view/952
Hidayat,
S. 2001. Pemberdayaan Ekonomi Rakyat : sebuah rekonstruksi konsep CBD.PT.
Pustaka Quantum, Jakarta
Rifai, M., Masitoh, S., Bachri, B. S.,
Setyawan, W. H., Nurdyansyah, N., & Puspitasari, H. (2020). Using
Electronic Design Automation and Guided Inquiry
Sholeh, Chabib. 2014. Dialektika
Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat. Bandung : Fokus Media
Subdirektorat Publikasi dan Kompilasi Statistik (ed.) (2021) Statistik Indonesia 2021.
Badan Pusat Statistik. Available at: https://www.bps.go.id/publication/download.html.
Purbantara, Arif. 2019. Modul KKN Tematik
Desa Membangun Pemberdayaan Masyarakat Desa. Jakarta: Kementerian Desa,
Pembangunan Daerah tertinggal dan Transmigrasi Republik Indonesia.
Setyawan, W. H., & Nawangsari, T.
(2021). Pengaruh E-Module Speaking Berbasis Website Untuk Meningkatkan
Keterampilan Berbicara. Aksara: Jurnal
Ilmu yaa syg Pendidikan Nonformal,
(2), 339–346. https://doi.org/http://dx.doi.org/10.37905/aksara.7.2.339-346.2021
Widjajanti, K. (2011)
‘Jurnal Ekonomi Pembangunan Model pemberdayaan masyarakat’, Jurnal Ekonomi Pembangunan,
12(1), pp. 15–27.
0 komentar:
Posting Komentar