Rabu, 11 Desember 2024

“Strategi Mengurangi Dampak Negatif dari Kegiatan partisipatif”

 

BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Pemberdayaan sebagai proses mengembangkan, memandirikan, menswadayakan, memperkuat posisi tawar menawar masyarakat lapisan bawah terhadap kekuatan-kekuatan penekan di segala bidang dan sektor kehidupan (Sutoro Eko, 2002). Konsep pemberdayaan (masyarakat desa) dapat dipahami juga dengan dua cara pandang. Pertama, pemberdayaan dimaknai dalam konteks menempatkan posisi berdiri masyarakat. Posisi masyarakat bukanlah obyek penerima manfaat (beneficiaries) yang tergantung pada pemberian dari pihak luar seperti pemerintah, melainkan dalam posisi sebagai subyek (agen atau partisipan yang bertindak) yang berbuat secara mandiri. Berbuat secara mandiri bukan berarti lepas dari tanggungjawab negara. Pemberian layanan publik (kesehatan, pendidikan, perumahan, transportasi dan seterusnya) kepada masyarakat tentu merupakan tugas (kewajiban) negara secara given. Masyarakat yang mandiri sebagai partisipan berarti terbukanya ruang dan kapasitas mengembangkan potensi-kreasi, mengontrol lingkungan dan sumberdayanya sendiri, menyelesaikan masalah secara mandiri, dan ikut menentukan proses politik di ranah negara. Masyarakat ikut berpartisipasi dalam proses pembangunan dan pemerintahan (Sutoro Eko, 2002).

Permendagri RI Nomor 7 Tahhun 2007 tentang Kader Pemberdayaan Masyarakat, dinyatakan bahwa pemberdayaan masyarakat adalah suatu strategi yang digunakan dalam pembangunan masyarakat sebagai upaya untuk mewujudkan kemampuan dan kemandirian dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara (Pasal 1 , ayat (8) ). Inti pengertian pemberdayaan masyarakat merupakan strategi untuk mewujudkan kemampuan dan kemandirian masyarakat.

Masalah pembangunan merupakan masalah yang kompleks. Kompleksitas itu misalnya dari sisi manajemen berarti perlu dilakukan perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi. Dari sisi bidang yang yang harus dibangun juga memiliki aspek kehidupan yang sangat luas. Aspek kehidupan itu mencakup kehidupan politik, ekonomi, sosial dan budaya serta pertahanan dan keamanan. Dalam manajemen pemerintahan yang otoriter yang sentralistis, dalam realitas masyarakat lebih diposisikan sebagai obyek pembangunan. Ketika kini pemerintahan yang demokratis yang hendak dikembangkan, maka ada perubahan posisi masyarakat yang semula lebih diposisikan sebagai obyek pembangunan menjadi subyek pembangunan.

Memposisikan masyarakat sebagai subyek dalam pembangunan agar bersifat efektif perlu dicarikan berbagai alternatif strategi pemberdayaan masyarakat. Pilihan strategi yang tepat diharapkan dapat meningkatkan kemampuan dan kemandirian masyarakat. Makalah ini lebih memfokuskan pada paparan tawaran berbagai strategi pemberdayaan masyarakat.

B.    Rumusan Masalah

Lahirnya perencanaan partisipatif dilatarbelakangi karena banyaknya kegagalan pembangunan sosial kemasyarakatan yang dijalankan oleh pemerintah. Hal ini diakibatkan penyusunan perencanaan yang sifatnya “top-down” khususnya yang terjadi pada era sebelum reformasi, bagaimana proses perencanaan yang hampir seluruhnya di dominasi oleh para aparat dan pengambil kebijakan, yang tidak mungkin dapat memahami sekian banyak permasalahan, kebutuhan serta potensi yang dimiliki masyarakat, maupun potensi daerah/wilayah (kearifan lokal) yang akan menjadi lokasi pembangunan/program. Memasuki era reformasi, pemerintah dan pemerintah daerah telah menyadari betul panyebab kegagalan pembangunan kemasyarakatan, termasuk program pemberdayaan masyarakat dimasa lalu, sehingga belajar dari semua kegagalan tersebut, lahirlah kebijakan agar para perencana dalam menyusun suatu perencanaan harus menempatkan diri sebagai strategi dalam mengurangi dampak dari kegiatan partisipatif. Berdasarkan latar belakang masalah tersebut maka fokus untuk makalah ini adalah strategi dalam menggurangi dampak dari kegiatan partisipatif.

 


 

BAB II

PEMBAHASAN

A.    Pengertian Pemberdayaan Masyarakat

Kata daya merupakan kata dasar dari istilah pemberdayaan yang memiliki makna kekuatan, dan merupakan terjemahan dari kata empowerment. Berangkat dari makna kata dasar tersebut maka kata pemberdayaan memiliki makna memberikan daya upaya atau kekuatan kepada kelompok marjinal, kelompok yang berada pada garis kemiskinan (ketidakberdayaan), kelompok yang tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar seperti makan, pakaian, rumah, pendidikan, dan kesehatan dalam kehidupan sehari-hari mereka (Hamid, 2018). Memberikan kekuatan bagi masyarakat lemah merupakan suatu keniscayaan bagi pemerintah, baik itu pemerintah pusat maupun pemerintah daerah karena mereka diamanatkan oleh Undang-Undang dan ideologi negara untuk memberdayakan masyarakat. Namun demikian ia tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah semata, ia juga membutuhkan dukungan dari berbagai pihak utamanya masyarakt itu sendiri yang merupakan bagian dari objek sasaran dengan cara ikut berpartisipasi aktif dalam melaksanakan berbagai program kerja pemerintah dalam pemberdayaan (Hastuti & Setyawan, 2021).

Adapun beberapa pengertian pemberdayaan menurut para ahli adalah

1.     Pemberdayaan merupakan serangkaian kegiatan untuk memperkuat dan mengoptimalkan keberdayaan (dalam arti kemampuan dan keunggulan bersaing) kelompok lemah dalam masyarakat, termasuk didalamnya (Mardikanto and Soebiato, 2013).

2.     Gunawan (2009) menyatakan bahwa pemberdayaan adalah tindakan sosial sebuah komunitas di dalam penduduk  dimana ia mengorganisasikan dirinya dalam membuat perencanaan dan tindakan kolektif agar mampu menyelesaikan persoalan sosial atau memenui kebutuhan sosial dengan kemampuan dan sumber daya yang dimiliki (dalam Hamid, 2018).

3.     Widjayanti (2011) mengatakan bahwa pemberdayaan memiliki makna membangkitkan sumber daya, kesempatan, pengetahuan dan keterampilan masyarakat untuk meningkatkan dan menentukan masa depan lebih baik.

4.     Menurut Suharto (dalam Hamid, 2018) pemberdayaan bertitik tekan pada kemampuan yang lemah pada diri seseorang atau kelompok, sehingga diharapkan mampu:

a.     Memenuhi kebutuhan pokok/dasar mereka sehingga mampu merasakan kebebasan dalam arti bebas dalam hal kelaparan, kebodohan dan kesakitan.

b.     Meningkatkan pendapatan dan memperoleh barang-barang dan jasa yang berkualitas sesuai kebutuhan dengan cara menjangkau dan mengolah sumber daya produktif.

c.     Mengambil peran dalam segala kegiatan pembangunan dan berbagai keputusan kebijakan yang mampu meningkatkan kesejateran mereka.

Berdasarkan data hasil sensus penduduk yang dilakukan oleh Badan Pusat Statiktik (2021) tercatat sebesar 270,20 juta jiwa atau bertambah 32,56 juta jiwa dibandingkan SP2010, sedangkan sebaran penduduk Indonesia menurut wilayah masih terkonsentrasi di pulau jawa sebesar 56,10% atau sebanyak 151,59 juta jiwa. Melonjaknya angka kepadatan penduduk ini tentunya mempengaruhi meningkatnya angka kemiskinan yang terjadi secara tidak langsung, perihal tersebut tidak hanya terdampak pada masyarakat pedesaan yang notabene masyarakat agraria, namun juga pada masyarakat perkotaan yang memiliki basis sektor perkantoran dan industri. Perihal tersebut ditegas oleh Jhingan (2004) yang menyatakan bahwa pertumbuhan penduduk yang pesat pada suatau negara menyebabkan terjadinya ketidakberdayaan masyarakat dalam kemiskinan (dalam Mulyaman, 2016; Shalahuddin et al., 2021). Selain melonjaknya angka pertumbuhan penduduk, Hamid (2018) menambahkan bahwa pemicu kemiskinan yaitu 1) lapangan pekerjaan yang belum tersedia, 2) terjadinya urbanisasi yang cukup besar, dan 3) kebijakan pembangunan daerah yang belum menjangkau kaum marginal. Adapun Sumodiningrat (2009) menjelaskan bahwa perspektif dalam mengatasi tingginya angka kemiskinan adalah berdasarkan prinsip-prinsip adil dan merata, partisipatif, demokratis mekanisme pasar, tertib hukum, dan saling percaya yang menciptakan rasa aman (dalam Hamid, 2018). Sehingga atas dasar prinsip tersebut maka pola pendekatakan yang digunakan dalam mengatasi meningkatnya angka kemiskinan perlu menggunakan pemberdayaan masyarakat partisipatif yang memposisikan masyarakat binaan sebagai pelaku utama sedangkan pemerintah memposisikan diri sebagai fasilitator dan motivator dalam pendampingan.

Pemberdayaan masyarakat adalah upaya atau proses untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kapasitas masyarakat untuk mengenali, menangani, memelihara, melindungi, dan meningkatkan kesejahteraannya sendiri. Pemberdayaan masyarakat merupakan upaya non konstruktif yang memfasilitasi peningkatan pengetahuan dan kapasitas masyarakat untuk mengidentifikasi, merencanakan dan menyelesaikan masalah dengan memanfaatkan potensi lokal dan fasilitas yang ada, baik dari lintas sektor instansi maupun LSM dan tokoh masyarakat. Menurut Chamber (1995) pemberdayaan merupakan pemberdayaan ekonomi dalam rangka membangun suatu paradigm dalam suatu pembangunan yang bersifat people centered, participatory, empowerment and sustainable (Noor, 2011; Saptaria & Setyawan, 2021). Dijelaskan lebih lanjut bahwasanya pemberdayaan masayarakat tidak hanya berorientasi pada pemenuhan kebutuhan dasar mereka, namun lebih kepada bagaimana mereka mampu mengusahakan dan memaksimalkan sumber daya yang dimiliki agar pertumbuhan ekonomi naik dan mensejahterakan.

Dalam perkembangannya pemberdayaan masyarakat mengalami perubahan yang cukup dinamis mengikuti perkembangan zaman, lebih lanjut Bahri (2019) menawarkan pemberdayaan masayarakat berkelanjutan yang bertumpu pada tiga aspek penting, yaitu inpu, proses dan output. Lebih lanjut ia menjelaskan;

1.     Aspek input

Pada aspek input ini, pemberdayaan masyarakat berkelanjutan berpijak pada empat bentuk yaitu sumberdaya individu, sumberdaya keluarga, sumberdaya kelompok dan sumberdaya kelembagaan

2.     Aspek proses

Pada aspek proses, terdapat empat aktivitas pada proses pemberdayaan masyarakat berkelanjutan yaitu perubahan sikap (attitude), peningkatan pengetahuan (knowledge), pengautan keterampilan (skill) dan pengelolaan sumberdaya terkait.

3.     Aspek output

Pada aspek output, maka perihal yang diharapkan dalam pemberdayaan masyarakat berkelanjutan adalah individu, keluarga, kelompok dan kelembagaan yang berdaya.

Pada masa kini, terdapat tuntutan yang besar bagi pelaku pemberdayaan dalam rangka mewujudkan cita-cita yang diinginkan, yakni tuntutan untuk memiliki kemampuan yang kuat dan memadai. Mereka tidak hanya dituntut untuk memiliki kemampuan yang kaya melainkan juga mampu untuk memiliki kemampuan dalam merancang program pemberdayaan (Widjajanti, 2011). Widjjanti (2011) menambahkan bahwa modal utama terlasananya program pemberdayaan tidak hanya bergantung pada kuantitas modal manusia (human capital) namun juga pada tingkatan kualitasnya. Karena ia memainkan peran yang sangat signifikan dan merupakan suatu aset yang berhubungan dengan inteletualitas yang diharapkan mampu melakukan hubungan / interaksi antarsesama secara baik, menguntungkan dan berkelanjutan.

B.    Sejarah Pemberdayaan Masyarakat di Indonesia

Perubahan penyelenggaraan demokrasi yang terjadi pada tahun 1998 memberikan implikasi yang sangat signifikan terhadap berbagai sektor, terutamanya pada sistem dan kekuasaan pemerintah yang semula menganut sistem sentralistis kemudian beralih pada sistem otonomi daerah atau desentralisasi. Perubahan tersebut tercetak dan tertulis dengan jelas dengan adanya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian berubah menjadi UU Nomor 32 Tahun 2004, sebagai pengganti UU Nomor 5 Tahun 1974 (Noor, 2011). Perubahan mendasar ini dengan nyata memberikan dampak yang sangat besar pada beberapa sektor pelaku pembangunan, mulai dari pelaku, pengambilan keputusan, perencanaan, pelaksana, pengawasan pembangunan yang masih belum siap akan perubahan tersebut, perihal tersebut terlihat pada konteks praktek penyelenggaraanya yang belum optimal seperti kurang kreativitas dan minimnya partisipasi atau keterlibatan masyarakat secara kritis dan rasional (Noor, 2011).

Dengan adanya beberapa persoalan yang mengemuka dalam pelaksanaan pemberdayaan masyarakat ini, maka pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan. Noor (2011) merekap beberapa kebijakan pemerintah tersebut, yakni:

1.     GBHN Tahun 1999 dan UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pada GBHN Tahun 1999 tersebut dinyatakan “mengembangkan otonomi daerah secara luas, nyata dan bertanggung jawab dalam rangka pemberdayaan masyarakat, lembaga ekonomi, lembaga politik, lembaga hokum, lembaga keagamaan, lembaga adat dan lembaga swadaya masyarakat serta seluruh potensi masyarakat dalam wadah NKRI”.

2.     UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, dinyatakan “hal-hal yang mendasar dalam undang-undang ini adalah mendorong untuk memberdayakan masyarakat, menumbuhkembangkan prakarsa dan kreatifitas serta meningkatkan peran serta masyarakat”.

3.     UU Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) Tahun 200-2004 dan Program Pembangunan Daerah (BAPPEDA) dinyatakan bahwa pemberdayaan masyarakat merupakan upaya meningkatkan keberdayaan masyarakat pada sekotr ekonomi, sosial dan politik melalui penguatan lembaga dan organisasi masyarakat setempat, penanggulan kemiskinan dan perlindungan sosial masyarakat, peningkatan keswadayaan masyarakat.

Badan Pemberdayaan menetapkan visi, misi, kebijakan, strategi dan program pemberdayaan masyarakat dalam rangka menterjemahkan tugas yang diemban pada bidang pemberdayaan masyarakat.

Visi Pemberdayaan Masyarakat adalah meningkatkan kemandirian masyarakat.

Misi Pemberdayaan Masyarakat adalah mengembangkan kemampuan dan kemandirian serta secara bertahap masyarakat mampu membangun diri dan lingkungannya secara mandiri, dalam arti bahwa mereka harus mampu mencapai kemajuan sehingga bisa membangun dan memelihara kelangsungan hidup berdasarkan kekuatannya sendiri secara berkelanjutan.

C.    Prinsip Pemberdayaan

Prinsip-prinsip pemberdayaan masyarakat yang harus diterapkan secara bersama- sama dan berkelanjutan adalah prinsip kesetaraan, partisipatif, keswadayaan, dan keberlanjutan. Lingkup pemberdayaan masyarakat dapat dikategorikan berdasarkan bidang pemberdayaan masyarakat dan berdasarkan prosesnya.

Terdapat setidaknya beberapa prinsip dalam melaksanakan pemberdayaan masyarakat sebagai bahan acuan bagi pelaku dan masyarakat binaanya sehingga program pemberdayaan yang dimaksud mampu menjawab kebutuhan masyarakat binaan dan dapat berjalan dengan benar dan tepat sesuai dengan hakikat dan konsep pemberdayaan. Adapun prinsip yang dimaksud adalah:

1.     Prinsip Partisipasi, Segala tahapan kegiatan pemberdayaan harus melibatkan masyarakat binaan.

2.     Prinsip sustainable, Hasil dari pemberdayaan yang didapatkan mampu dilestarikan oleh masyarakat binaan agar mampu melanjutkan program kegiatan secara berkelanjutan. 

3.     Prinsip demokratisasi, Memberikan kesempatan kepada masyarakat binaan agar mampu menentukan jenis strategi daerah pembangunan sesuai dengan kebutuhan kapasitas yang mereka miliki.

4.     Prinsip transparansi, Keterlibatan beberapa pihak dan masyarakat binaan dalam keungan dilakukan secara transparan atau terbuka agar dapat dipantau dan diawasi oleh semua pihak.

5.     Prinsip akuntabilitas, Pengelolaan keuangan dilakukan secara terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan

6.     Prinsip desentralisasi, Prinsip ini berkehendak untuk tidak lagi segala petunjuk dan aturan-aturan tersentralisasi pada pemerintah, namun lebih kepada bagaimana masyarakat binaan mampu perencanaan (planning), pembagian tugas (organizing), pelaksanaan (actuating), pengawasan (controlling) dan evaluasi (evaluasi). 

7.     Prinsip acceptable, Bantuan yang diberikan kepada masyarakat binaan hendknya dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan kultur sehingga dapat dikelola sebaik mungkin dan didayagunakan oleh mereka sebagai pelaksana dan pengelola.

8.     Prinsip profitable, Mendidik masyarakat binaan agar mampu mengelola kegiatan pemberdayaan secara ekonomis, dan bisa mensejahterakan anggotanya dari kegiatan yang dilakukan.

9.     Prinsip replicable, Pengelolaan dana dan hasil pelestarian dapat dikembangkan pada aspek yang lebih luas.

D.    Tujuan Pemberdayaan Masyarakat

Pemberdayaan masyarakat bisa dilakukan oleh banyak elemen: pemerintah, perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat, pers, partai politik, lembaga donor, aktor-aktor masyarakat sipil, atau oleh organisasi masyarakat lokal sendiri. Birokrasi pemerintah tentu saja sangat strategis karena mempunyai banyak keunggulan dan kekuatan yang luar biasa ketimbang unsur-unsur lainnya: mempunyai dana, aparat yang banyak, kewenangan untuk membuat kerangka legal, kebijakan untuk pemberian layanan publik, dan lain-lain. Proses pemberdayaan bisa berlangsung lebih kuat, komprehensif dan berkelanjutan bila berbagai unsur tersebut membangun kemitraan dan jaringan yang didasarkan pada prinsip saling percaya dan menghormati (Sutoro Eko, 2002).

Dalam hal pada setiap desa telah terbentuk KPM, maka kemitraan KPM dan pemerintahan desa perlu didorong untuk bersama-sama melakukan pemberdayaan masyarakat. Ketika kemitraan mampu mendorong percepatan kemapanan ekonomi masyarakat, berfungsi secara efektif pemerintahan desa (sistem politik lokal), keteladanan pemimpim (elit lokal), dan partisipasi aktif masyarakat (lihat Kutut Suwondo, 2005), maka kemampuan dan kemandirian masyarakat dalam pembangunan akan dapat terwujud.

E.    Tahapan Pemberdayaan Masyarakat

Dalam melaksanakan tahapan untuk pelaksanaan partisipasi masyarakat harus melihatnya sebagai suatu proses kegiatan yang berawal dari implementasi awal, implementasi, dan implementasi akhir (Sastrawan Manullang, 2018).  Bentuk partisipasi masyarakat dapat dilihat dari tahapan pelaksanaan sebagai berikut:  (Manullang, 2021)

1.     Perencanaan , Pada tahapan ini partisipasi masyarakat dapat diketahui melalui keaktifan menghadiri sosialisasi, musyawarah, penyuluhan, dan pelatihan yang diadakan pemerintah desa. Dalam tahap perencanaan tersebut masyarakat juga ikut menyumbang pikiran. Adapun hasil dari pastisipasi ini, merupakan terbentuknya organisasi kepengurusan tingkat desa. 

2.     Pelaksanaan, Pada tahapan ini partisipasi masyarakat dapat diketahui melalui keikutsertaan masyarakat dalam menciptakan lingkungan yang bersih. 

3.     Penilaian, Pada tahapan ini keterlibatan masyarakat dalam menilai sejauh mana pelaksanaan pembangunan sesuai dengan rencana. Juga sejauh mana hasil dari pembangunan tersebut dalam pemenuhan kebutuhan masyarakat. 

Pemberdayaan masyarakat bisa dilakukan dengan beberapa langkah. Berikut adalah tahapan pemberdayaan masyarakat yang dikutip dari buku Pemberdayaan Masyarakat oleh Dedeh Maryani dan Ruth Roselin E. Nainggolan (2019:13).

1.     Tahap Persiapan

Ada dua hal yang perlu dikerjakan dalam tahapan ini, yakni penyiapan petugas tenaga pemberdayaan oleh community worker dan penyiapan lapangan. Persiapan ini dilakukan agar pemberdayaan masyarakat dapat berlangsung dengan lancar.

2.     Tahap Pengkajian

Tahap pengkajian atau assessment dapat dilakukan secara individual lewat kelompok-kelompok masyarakat. Pada tahap ini, petugas mengidentifikasi masalah keputusan dan sumber daya yang dimiliki klien. Ini dilakukan untuk menentukan sasaran pemberdayaan yang tepat.

3.     Tahap Perencanaan Alternatif Program atau Kegiatan

Dalam tahapan ini, petugas akan berperan sebagai exchange agent atau agen perubahan. Masyarakat diharapkan bisa memikirkan beberapa alternatif program berikut kelebihan dan kekurangannya. Nantinya, alternatif tersebut dipakai untuk menentukan program yang paling efektif.

4.     Tahap Pemfomalisasi Rencana Aksi

Pada tahap pemfomalisasi, agen perubahan membantu kelompok untuk menentukan program yang bisa mengatasi permasalahan. Petugas juga memfomalisasi gagasan tersebut ke dalam tulisan, apabila ada kaitannya dengan pembuatan proposal pada penyandang dana.

5.     Tahap Implementasi Program atau Kegiatan

Dalam tahap implementasi, masyarakat harus memahami maksud, tujuan dan sasaran program untuk menghindari kendala dalam implementasi program. Mereka juga harus bekerja sama dengan petugas.

6.     Tahap Evaluasi

Evaluasi merupakan tahap pengawasan dari warga dan petugas program pemberdayaan. Program ini sebaiknya melibatkan warga untuk membangun komunitas pengawasan internal dan komunikasi masyarakat yang lebih mandiri.

7.     Tahap Terminasi

Pada tahapan terakhir, proyek harus berhenti. Sebab, masyarakat yang diberdayakan sudah mampu mengubah kondisi yang sebelumnya buruk menjadi lebih baik. Dengan kata lain, mereka sudah bisa menjamin kehidupan layak bagi diri sendiri dan keluarga.

F.    Strategi dan Pendekatan dalam Pemberdayaan Masyarakat

Suatu keberhasilan berkaitan dengan penggunaan strategi. Karena keberhasilan sebuah manajemen akan tergantung kepada strategi apa yang digunakan. Strategi berasal dari kata “stratos” dan “agein”. Dalam bahasa Yunani kuno stratos bermakna tentara. Sedangkan kata”agein” memiliki makna pemimpin. Sehingga apa yang dimaksud dengan strategi yaitu adalah memimpin tentara. Lalu ada istilah  strategos yang artinya adalah memimpin tentara tingkat atas. Jadi strategi adalah konsep militer yang bisa diartikan sebagai seni berperang para jenderal atau suatu rancangan yang terbaik untuk memenangkan peperangan (Suprapto, 2019).

Menurut  Karl von Clausewitz (1780-1831) sebagaimana dikutip oleh Cangara strategi dirumuskan sebagai suatu seni menggunakan sarana pertempuran untuk mencapai tujuan perang. ada ungkapan “to win the war, not  to win the battle” Yang dipahami dalam bahasa Indonesia” memenangkan perang, bukan memenangkan pertempuran” (Cangara, 2017). Jadi pentingnya satu strategi adalah memenangkan perang, sedangkan aktif adalah untuk memenangkan pertempuran. Anderson (1968)  merumuskan strategi sebagai suatu seni yang melibatkan kemampuan  inteligensi untuk membawa semua sumber daya yang ada dalam mencapai tujuan dengan memperoleh keuntungan yang besar dan efisien (Suprapto, 2019).

Sumber daya strategi pemberdayaan  tidaklah sekedar mendapatkan hasil melainkan juga ga ga melalui prosesnya dalam tingkat MPASI yang tinggi yang yang berdasarkan kebutuhan dan potensi masyarakat untuk mencapai tujuan  tim pemberdayaan dapat mengeksplorasi potensi, problem dan kebutuhan masyarakat. karena banyaknya potensi dan kebutuhan dalam satu komunitas maka tim pemberdayaan bisa merumuskan skala prioritas yang yang dianggap sangat mendesak untuk dikembangkan. dalam menyusun perencanaan pemberdayaan maka secara bersama-sama dirumuskanlah  seperti tujuan, materi, metode alat dan evaluasi si yang yang mengacu kepada kebutuhan. apa yang harus dibicarakan bersama adalah memecahkan problem yang sedang dihadapi (Margolang, 2018).

Pelibatan anggota masyarakat  merupakan dalam tahap perencanaan hal ini merupakan salah satu metode untuk mendorong mereka secara aktif terlibat dalam jam-jam berdayaan. dalam keterlibatan tersebut mengandung ikatan emosional dalam menyukseskan agenda pemberdayaan (Askar, 2019). dalam kegiatan sehari-hari strategi sering dimaknai sebagai bagai tindakan tertentu atau langkah-langkah ah Yang yang dilakukan demi tercapainya sebuah tujuan atau manfaat yang dikehendaki, oleh karena itu itu pemahaman strategi sering merujuk pada metode, teknik atau taktik (Shalahuddin et al., 2021). 

Secara teori, strategi sering dimaknai dengan beragam pendekatan seperti (Suprapto, 2019:122-123):

1.     Strategi Sebagai Suatu Rencana

Dalam suatu rencana, strategi diposisikan sebagai pedoman atau au Kompas yang dijadikan dasar pelaksanaan kegiatan untuk tercapainya tujuan atau goals yang telah ditetapkan. untuk itu dalam rumusan strategi perlu memperhatikan unsur kekuatan kelemahan internal, peluang dan ancaman eksternal yang yang diterapkan oleh kompetitor.

2.     Strategi Sebagai Kegiatan

Dalam  suatu kegiatan, strategi adalah wujud dari upaya-upaya setiap individu,  organisasi  atau perusahaan untuk mengalahkan  kompetitor demi terwujudnya tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya.

3.     Strategi Sebagai Suatu Instrumen

Strategi sebagai suatu instrumen adalah alat yang  dipakai oleh para pimpinan, organisasi/ perusahaan khususnya bagi seorang manajer utama sebagai pedoman sekaligus sebagai pilot pelaksanaan kegiatan

4.     Strategi Sebagai Suatu Sistem

Sebagai suatu sistem, memiliki makna bencana yang terbaru dan dan tindakantindakan yang yang menyeluruh yang difokuskan untuk menyelesaikan tantangantantangan agar mencapai tujuan.

5.     Strategi Sebagai Pola Pikir

Strategi sebagai pola pikir diartikan sebagai suatu tindakan yang didasari oleh pemahaman yang luas tentang kondisi pangan dan internal dalam rentang waktu yang panjang serta keahlian dalam pengambilan keputusan untuk memilih solusi terbaik yang yang bisa dilakukan kan dengan memaksimalkan potensi untuk memanfaatkan peluang yang tersedia yang  secara simultan menutupi kelemahan guna menekan ancaman-ancaman.

Dari berbagai macam pengertian tentang strategi di atas dapat diambil kesimpulan bahwa potensi merupakan suatu proses sekaligus alat yang penting yang berkaitan dengan pengendalian dan pelaksanaan kegiatan yang diterapkan untuk memenangkan persaingan  demi tercapainya tujuan. jadi di dalam istilah lain bahwa fungsi strategi merupakan jembatan antara perencanaan dengan tujuan yang yang hendak dicapai. oleh karena itu, perencanaan program  membutuhkan strategi untuk mencapai  tujuan (Sari & Setiawan, 2021). 

Dalam kaitannya dengan program pemberdayaan  masyarakat  agar mencapai tujuan  dirumuskan sebuah strategi sebagai berikut (Mardikanto and Soebiato, 2017):

1.     Menyusun alat pengumpulan data. dalam program ini data yang dibutuhkan kan bisa berupa Apa hasil  reset yang telah dilakukan terdahulu, referensi yang tersedia, hasil-hasil temuan atau observasi.

2.     Menyamakan persepsi, dan komitmen untuk mendukung independensi individu, keluarga dan masyarakat.

3.     Merancang sistem informasi, mengembangkan sistem analisis, monitoring dan evaluasi pemberdayaan individu, keluarga dan masyarakat. 

Secara keseluruhan strategi yang diterapkan dalam program dapat juga disebut sebagai ide besar (the big idea)  sebagai pendekatan yang yang dirumuskan dalam kondisi tertentu dari posisi saat ini yang disusun berlandaskan analisis masalah dan tujuan yang yang ditetapkan. Strategi ini kongkritnya dituangkan dalam bentuk  taktik.

Taktik  dilandasi oleh tujuan dan sasaran yang akan dibidik  dalam agenda pemberdayaan sehingga peran kreativitas dan inovatif sangat dibutuhkan dalam membidik tujuan dan sasaran. tetapi penentuan taktik bukanlah hal yang yang demikian rumit (Harianto et al., 2020). 

BAB III

PENUTUP

A.    Kesimpulan

Pemberdayaan masyarakat adalah upaya atau proses untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kapasitas masyarakat untuk mengenali, menangani, memelihara, melindungi, dan meningkatkan kesejahteraannya sendiri. Sebagaimana yang tercantum dalam UU Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) Tahun 2000-2004 dan Program Pembangunan Daerah (BAPPEDA) dinyatakan bahwa pemberdayaan masyarakat merupakan upaya meningkatkan keberdayaan masyarakat pada sekotr ekonomi, sosial dan politik melalui penguatan lembaga dan organisasi masyarakat setempat, penanggulan kemiskinan dan perlindungan sosial masyarakat, peningkatan keswadayaan masyarakat. Sebagai kegiatan yang bersinggungan langsung dengan masyarakat dan berpusat pada masyarakat, maka perlu adanya suatu konsep dan strategi sebagai gambaran dalam pelaksanaan kegiatan pemberdayaan masyarakat.  Hal ini perlu dilakukan untuk memudahkan dan mensukseskan seorang fasilitator atau pendamping dan juga masyarakat sebagai subyek dalam kegiatan pemberdayaan.  

Sebagai kegiatan yang bersinggungan dengan masyarakat, tentunya perlu suatu konsep dan strategi untuk bisa memahami situasi dan kondisi serta karakterisitik masyarakat.  Hal tersebut perlu dilakukan untuk meindaklanjuti problematika sosial dan juga menangani konflik dalam komunitas. Sebagai kegiatan yang bersinggungan dengan masyarakat, pemilihan strategi dan pendekatan dalam pemberdayaan sangatlah diperlukan. Ada beberapa pendekatan yang bisa dipilih oleh fasilitator sebagai suatu cara dalam melaksanakan pemberdayaan, diantaranya ; Rapid Rural Appraisal(RRA), Participatory Rural Appraisal (PRA), Participatory Action Research (PAR), Agro Ecosystem Analysis , Asset-Based Community Development (ABCD), Environmental Scanning (ES), Logical Framework Approach (LFA), Participatory Impact Monitoring (PIM), Zielobjective Orientierte Project Planning (ZOPP), Participatory Learning And Action (PLA.

Pemilihan strategi pendekatan yang tepat, akan sangat membantu seorang fasilitator dalam menyusun tahapan pemberdayaan, pemecahan teknis kegiatan pemberdayaan, dan sebagai sarana guna membangun komunikasi dalam pemberdayaan masyarakat. Agar kegiatan pemberdayaan bisa terlaksana dengan lancar, maka tidak hanya melibatkan masyarakat dan fasilitator pemberdayaan saja, akan tetapi juga perlu melibatkan stakeholder baik itu dari internal maupun external. Adapun yang disebut sebagai stakeholder internal adalah pihak pemerintah desa dan juga masyarakat tersebut. Sedangkan stakeholder external yaitu pihak pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, para pengusaha, dan perguruan tinggi. 

Kedudukan stakeholders memiliki peran yang penting dalam pemberdayaan masyarakat. Pemilihan stakeholder yang tepat dapat menciptakan kesesuaian antara isu program atau pengembangan masyarakat dengan bidang stakeholder tersebut. Akan lebih baik jika stakeholder yang terlibat juga memiliki tujuan dan ketertarikan yang sama mengenai isu program sehingga dengan pemilihan yang tepat dapat diketahui pihak mana saja yang akan dilibatkan dan seberapa besar pengaruh dari stakeholder tersebut.

Jika tujuan, pandangan atau kepentingan dari stakeholder tidak memiliki kesamaan maka proses maupun kerjasama akan lebih sulit bahkan mengalami hambatan. Hal seperti ini dapat menimbulkan konflik yang seharusnya dihindari. Stakeholder sebagai pihak yang memiliki wewenang dalam pengambilan keputusan di level administratif, diharapkan faham terhadap apa yang menjadi tanggung jawab dan ketelibatannya dalam upaya mewujudkan tujuan program pemberdayaan masyarakat yang berkelanjutan. Sehingga setelah program berakhir, masyarakat dan stakeholder dapat terus bersama-sama menjalankan praktik baik yang sudah muncul.

B.    Saran

Demikian yang dapat kami paparkan mengenai materi yang menjadi pokok bahasan dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya, kerena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi yang ada hubungannya dengan judul makalah ini.

Penulis banyak berharap para pembaca memberikan kritik dan saran yang membangun kepada penulis demi sempurnanya makalah ini dan dan penulisan makalah di kesempatan-kesempatan berikutnya. Semoga makalah ini berguna bagi penulis pada khususnya juga para pembaca yang budiman pada umumnya.

 

 

 

 

Daftar Pustaka

Bito, G. S., Fredy, F., & Setyawan, W. H. (2021). Ethnomathematics: Design of Sabuk Tradisional (Keru) Bajawa as A Learning Media For Elementary School. ELEMENTARY:             Islamic            Teacher Journal, 9(1). https://doi.org/http://dx.doi.org/10.21043/elementary.v9i1.9835

Kamus Bahasa Indonesia (2008) PUSAT BAHASA DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL JAKARTA. Jakarta: Pusat Bahasa.

Learning Model in Higher Engineering Education. Universal Journal of Educational Research, 8(7), 2946–2953. https://doi.org/10.13189/ujer.2020.080723

Mardikanto, T. and Soebiato, P. (2013) Pemberdayaan Masyarakat Dalam Perspektif Kebijakan Publik. edisi ke-2. Bandung: Alfabeta.

Noor, M. (2011) ‘Pemberdayaan Masyarakat’, Jurnal Ilmiah CIVIS, I(2), pp. 87–99. doi: 10.31227/osf.io/weu8z.

Hamid, H. (2018) Manajemen Pemberdayaan Masyarakat. Edited by T. S. Razak. Makassar: De La Macca.

Hastuti, S. W. M., & Setyawan, W. (2021). Community Service in Study Potential Technology of Education Tour and Business Prospects of Traders in Tulungagung. Mitra Mahajana: Jurnal Pengabdian Masyarakat, 2(2), 134–144. http://www.uniflor.ac.id/e-journal/index.php/mahajana/article/view/952  

Hidayat, S. 2001. Pemberdayaan Ekonomi Rakyat : sebuah rekonstruksi konsep CBD.PT. Pustaka Quantum, Jakarta

Rifai, M., Masitoh, S., Bachri, B. S., Setyawan, W. H., Nurdyansyah, N., & Puspitasari, H. (2020). Using Electronic Design Automation and Guided Inquiry

Sholeh, Chabib. 2014. Dialektika Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat. Bandung : Fokus Media

Subdirektorat Publikasi dan Kompilasi Statistik (ed.) (2021) Statistik Indonesia 2021. Badan Pusat Statistik. Available at: https://www.bps.go.id/publication/download.html.

Purbantara, Arif. 2019. Modul KKN Tematik Desa Membangun Pemberdayaan Masyarakat Desa. Jakarta: Kementerian Desa, Pembangunan Daerah tertinggal dan Transmigrasi Republik Indonesia.

Setyawan, W. H., & Nawangsari, T. (2021). Pengaruh E-Module Speaking Berbasis Website Untuk Meningkatkan Keterampilan Berbicara. Aksara: Jurnal Ilmu yaa syg Pendidikan             Nonformal, (2), 339–346. https://doi.org/http://dx.doi.org/10.37905/aksara.7.2.339-346.2021

Widjajanti, K. (2011) ‘Jurnal Ekonomi Pembangunan Model pemberdayaan masyarakat’, Jurnal Ekonomi Pembangunan, 12(1), pp. 15–27.

 

0 komentar:

Posting Komentar