”Perencanaan
Penggunaan Lahan Perkotaan”
Pengertian yang luas digunakan tentang
lahan ialah suatu daerah permukaan daratan bumi yang ciri‐cirinya mencakup
segala tanda pengenal, baik yang bersifat cukup mantap maupun yang dapat
diramalkan bersifat mendaur, dari biosfer, atmosfer, tanah, geologi, hidrologi
dan populasi tumbuhan dan hewan, serta hasil kegiatan manusia pada masa lampau
dan masa kini, sejauh tanda‐tanda pengenal tersebut memberikan pengaruh murad
atas penggunaan lahan oleh manusia pada masa kini dan masa mendatang
(Notohadiprawiro, 1991).
Sedangkan Chapin, F. Stuart dan Edward J. Kaiser (1979), memberikan
pengertian lahan pada dua skala yang berbeda yaitu lahan pada wilayah skala
luas dan pada konteks skala urban. Dalam lingkup wilayah yang luas, lahan
adalah resource (sumber) diperolehnya bahan mentah yang dibutuhkan untuk
menunjang keberlangsungan kehidupan manusia dan kegiatannya. Dalam konteks
resource use lahan diklasifikasikan kedalam beberapa kategori, yaitu
pertambangan, pertanian, pengembalaan dan perhutanan.
Penggunaan lahan saat ini dirasakan semakin penting karena laju
pertumbuhan penduduk yang tinggi membuat penggunaan lahan oleh manusia pada
daerah yang luas dan tersebar benar-benar sangat kompleks. Penggunaan lahan
pada saat sekarang (present land use) merupakan
pertanda adanya dinamika dari eksploitasi oleh manusia (baik secara perorangan
maupun masyarakat) terhadap sekumpulan sumberdaya alam untuk memenuhi
kebutuhannya. Kota dengan
segala sarana dan fasilitasnya merupakan tempat bagi penduduk untuk melakukan
berbagai macam aktivitas. Bertambahnya jumlah penduduk baik itu disebabkan oleh
pertambahan alami maupun migrasi berimplikasi pada semakin besarnya tekanan
penduduk atas pemanfaatan lahan kota. Bentuk penggunaan lahan suatu perkotaan
mencerminkan aktivitas penduduk di wilayah tersebut. Bertambahnya jumlah
penduduk baik itu disebabkan oleh pertambahan alami maupun migrasi berimplikasi
pada semakin besarnya tekanan penduduk atas pemanfaatan lahan kota. Tuntutan
akan kebutuhan lahan untuk tempat tinggal atau kawasan hunian serta untuk
sarana menunjang fasilitas-fasilitas lain dan pendukungnya juga semakin
meningkat.
Meningkatnya
kebutuhan dan persaingan dalam penggunaan lahan baik dalam keperluan produksi
pertanian, perkebunan, industri, jasa serta permukiman mendorong lahirnya
pemikiran tentang bagaimana mengambil keputusan pemanfaatan lahan yang paling
menguntungkan dari sumber daya yang terbatas. Dengan keadaan seperti ini perlu
suatu perencanaan penggunaan lahan dan penataan kembali penggunaan lahan agar
dapat dimanfaatkan secara optimal. Untuk itu perlu dilakukan kesesuaian
penggunaan lahan agar bentuk penggambaran tingkat kecocokan sebidang lahan
untuk suatu penggunaan tertentu dapat berjalan dengan baik. Hal ini akan
menjadi persoalan bagi perencana, pengelola kota maupun penduduk itu sendiri
apabila penggunaannya tidak sesuai dengan pemanfaatan yang semestinya.
Penggunaan Lahan menurut Sandy
(1977:24), dikatakan bahwa penggunaan lahan perkotaan diklasifikasikan sebagai
berikut;
1.
lahan
permukiman, meliputi perumahan termasuk pekarangan dan lapangan olah raga;
2.
lahan
jasa, meliputi perkantoran pemerintah dan swasta, sekolahan, puskesmas dan
tempat ibadah;
3.
lahan
perusahaan, meliputi pasar, toko,kios dan tempat hiburan; dan
4.
lahan
industri, meliputi pabrik dan percetakan.
Penggunaan Lahan Perkotaan Secara umum, pola penggunaan
lahan perkotaan memiliki 3 ciri (Sadyohutomo, 2006:71), antara lain :
1.
Pemanfaatannya
dengan intensitas yang tinggi yang disebabkan oleh populasi penduduk yang lebih
tinggi dari kawasan pedesaan. Dengan demikian, dalam pasar investasi tingkat
permintaan akan lahan juga tinggi dan nilai guna lahan kawasan perkotaan
cenderung lebih tinggi pula.
2.
Adanya
keterkaitan yang erat antar unit-unit penggunaan tanah.
3.
Ukuran
unit-unit penggunaan lahan didominasi luasan yang relatif kecil. Hal ini sangat
berbeda dengan kawasan pedesaan yang memungkinkan sebentang lahan yang luas
memiliki satu fungsi yang sama sehingga cocok untuk kegiatan budi daya agraria.
Secara umum,
klasifikasi penggunaan tanah pada kawasan perkotaan dapat dibagi menjadi 7
jenis (Sadyohutomo, 2006: 72) , antara lain :
1.
Perumahan,
berupa kelompok rumah sebagai tempat tinggal lengkap dengan prasarana dan
sarana lingkungan.
2.
Perdagangan,
berupa tempat transaksi barang da jasa yang secara fisik berupa bangunan pasar,
toko, pergudangan dan lain sebagainya.
3.
Industri,
adalah kawasan untuk kegiatan proses pengolahan bahan-bahan baku menjadi barang
setangah jadi atau barang jadi.
4.
Jasa,
berupa kegiatan pelayanan perkantoran pemerintah, semi komersial, kesehatan,
sosial, budaya dan pendidikan.
5.
Taman,
adalah kawasan yang berfungsi sebagai ruang terbuka publik, hutan kota dan
taman kota.
6.
Perairan,
adalah areal genangan atau aliran air permanen atau musiman yang terjadi secara
buatan dan alami.
7.
Lahan
kosong, berupa lahan yang tidak dimanfaatkan
Selaras dengan perkembangan kota dan aktivitas
penduduknya maka lahan di kota terpetak-petak sesuai dengan peruntukkannya.
Jayadinata (1992: 101) mengemukakan bahwa tata guna tanah perkotaan menunjukan
pembagian dalam ruang dan peran kota.
Klasifikasi penggunaan lahan dikota terbagi atas
beberapa, yaitu;
1. Lahan
kawasan lindung
2. Lahan
konstruksi
3. Lahan
industry manufaktur
4. Lahan
transportasi
5. Lahan
komunikasi
6. Lahan
utilitas umum
7. Lahan
perdagangan grosir
8. Lahan
perdagangan eceran
9. Lahan
perumahan mewah
10. Lahan
asuransi
11. Lahan
keuangan
12. Lahan
jasa pelayanan
13. Lahan
pemerintahan
14. Lahan
pendidikan
Terkait dengan bentuk distribusi
keruangan pemanfaatan lahan, terdapat beberapa teori mengenai bentuk distribusi
keruangan. Ada tiga bentuk keruangan penggunaan lahan permukiman/perumahan
terutama di daerah perdesaan. Tiga pola pokok yang dia kemukakan adalah :
1.
Nucleated Agriculture Village Community
Komunitas desa yang terpusat atau nucleated village adalah pola pemukiman di mana rumah-rumah
dibangun berdekatan dalam satu area yang terorganisir. Ini sering kali terjadi
di daerah yang direncanakan, di mana rumah-rumah dan fasilitas umum seperti
pasar dan tempat ibadah berada dalam jarak yang dekat. Pola ini memudahkan interaksi
sosial dan pengelolaan sumber daya secara efisien.
2.
Line Village Community
Komunitas desa garis atau line village adalah tipe pemukiman di mana rumah-rumah
dibangun dalam satu garis panjang, biasanya di sepanjang jalan atau sungai.
Tipe ini sering ditemukan di daerah yang memiliki lahan terbatas, di mana
pemukiman harus mengikuti bentuk geografis yang ada. Komunitas ini memungkinkan
akses yang lebih mudah ke sumber daya alam dan transportasi, tetapi mungkin
mengurangi interaksi sosial dibandingkan dengan komunitas terpusat.
3.
Open country or trade center community
Komunitas terbuka atau trade center community adalah tipe pemukiman yang berfungsi sebagai
pusat perdagangan. Komunitas ini biasanya terletak di daerah yang lebih terbuka
dan tidak terikat pada pola pemukiman tertentu. Mereka sering kali menjadi
titik pertemuan bagi pedagang dan petani, memungkinkan pertukaran barang dan
jasa. Komunitas ini dapat berkembang menjadi pusat ekonomi yang penting,
menarik penduduk dari daerah sekitarnya.
Sedangkan Yunus (2008) menjelaskan teori tentang
distribusi keruangan pemanfaatan lahan khususnya untuk Wilayah Peri Urban (WPU) yaitu teori Land Use Triangle : Continuum. Teori ini merupakan
teori yang dianggap paling sesuai untuk WPU di negara‐negara berkembang. Dalam
teori ini WPU merupakan wilayah yang ditandai oleh percampuran kenampakan
fisikal kekotaan dan kedesaan dengan variasi proporsi percampuran dalam kisaran
<100% kenampakan kedesaan maupun <100% kenampakan kekotaan. Percampuran
terjadi secara kontinum makin ke arah lahan
kekotaan terbangun utama,
maka semakin besar proporsi lahan kekotaan dan makin jauh dari lahan
terbangun utama makin besar proporsi lahan kedesaannya. Yunus
(2008) menemukan 4 zona pada wilayah peri
urban yaitu :
1. Zona bingkai
kota (zobikot)
2.
Zona bingkai kota‐desa (zobikodes)
3. Zona bingkai desa‐kota (Zobidekot)
4. Zona bingkai
desa (Zobides).
Perencanaan
penggunaan lahan di kawasan perkotaan menjadi semakin penting seiring dengan
meningkatnya urbanisasi dan pertumbuhan populasi. Proses ini bertujuan untuk
mengatur dan mengelola ruang kota agar dapat digunakan secara efisien dan
berkelanjutan. Penggunaan lahan yang tidak terencana dapat menyebabkan berbagai
masalah, seperti kemacetan, polusi, dan penurunan kualitas hidup masyarakat.
Oleh karena itu, pemahaman yang baik tentang konsep dan praktik perencanaan
penggunaan lahan sangat diperlukan untuk menciptakan lingkungan perkotaan yang
lebih baik.
Penggunaan
lahan perlu ditata dan direncanakan sesuai dengan fungsi dan karakteristik
lahan, sehingga tercipta ruang yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan.
Banyak contoh kasus kerugian yang disebabkan oleh ketidaksesuaian penggunaan
lahan. Salah satu contoh dampak dari ketidaksesuaian penggunaan lahan adalah
masalah banjir yang timbul sebagai akibat dari ketidaksesuaian penggunaan
lahan. Misalnya, lahan yang seharusnya diperuntukkan bagi daerah resapan air
digunakan bagi pembangunan permukiman. Perencanaan penggunaan lahan seperti ini
dikenal dengan nama perencanaan tata guna lahan yang merupakan salah satu
bentuk perwujudan fisik dari perencanaan tata ruang.
Daftar Pustaka
Chapin F. Stuart and Edward J. Kaiser. 1979.
Urban Land Use Planning. University Chicago: University of Illionis Press.
Jayadinata, Johara T., Tata Guna
Tanah dalam Perencanaan Pedesaan, Perkotaan dan Wilayah,
Ritohardoyo, Su. 2009. Pemanfaatan lahan hutan rakyat dan kehidupan sosial ekonomi penduduk : Kasus
di daerah Kabupaten Gunung Kidul. Disertasi, Sekolah Pascasarjana UGM,
Yogyakarta.
Sandy, I Made, Tata Guna Lahan
Perkotaan dan Pedesaan, Jakarta: Penerbit Bharata Anindya, 1977.Bandung: ITB
Bandung, 1992.
Sadyohutomo. (2006). Penatagunaan
tanah. Penerbit Aditya Media Yogyakarta
Yunus, S. Hadi,
Struktur Tata Ruang Kota, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000.
Yunus, Hadi
Sabari. 2008. Dinamika Wilayah Peri‐Urban: Deterninan Masa Depan Kota.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
0 komentar:
Posting Komentar